Osteopenia diartikan sebagai penurunan densitas tulang yang akhirnya mengakibatkan penurunan kekuatan tulang. Osteopenia of prematurity umumnya didapatkan pada bayi-bayi dengan berat lahir rendah. Kondisi ini menempatkan bayi-bayi prematur pada risiko tinggi untuk terjadinya fraktur.
Diperkirakan sekitar 30% bayi-bayi dengan berat lahir kurang dari 1250 gram menderita OOP. Bahkan sumber lain menyebutkan bahwa bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 gram dan usia kehamilan kurang dari 32 minggu, insiden osteopenia terjadi hampir tanpa kecuali. Hal ini tidak mengejutkan karena 80% mineralisasi tulang janin terjadi pada trimester ketiga dari kehamilan.
Proses Mineralisasi Tulang
Pada trimester ketiga dari kehamilan, sejumlah besar kalsium dan fosfor ditransfer secara aktif dari ibu ke janin, dimana 99% kalsium dan 85% fosfor berada dalam tulang sehingga terjadi pertumbuhan tulang bayi. Selain itu, aktivitas janin juga meningkat selama waktu ini, dimana aktivitas ini penting untuk perkembangan tulang. Hal sebaliknya didapatkan pada bayi-bayi prematur, bayi prematur tidak mendapatkan kalsium dan fosfor dalam jumlah yang diperlukan untuk membentuk tulang yang kuat. Adanya pembatasan aktivitas juga didapatkan pada bayi-bayi prematur yang berakibat meningkatnya bone resorption, penurunan bone mass, dan peningkatan hilangnya kalsium urin. Faktor-faktor lain yang juga meningkatkan risiko terjadinya OOP adalah kadar vitamin D yang rendah atau ketidakmampuan untuk melakukan metabolisme vitamin D yang baik, yang menyebabkan terhambatnya absorbsi kalsium dari usus dan ginjal, penggunaan diuretik dan steroid jangka panjang, nutrisi parenteral total yang lama, unsupplemented human milk, penggunaan formula kedelai dan elemental, bronchopulmonary dysplasia, serta penggunaan metilxanthin dan aminoglikosida yang meningkatkan ekskresi kalsium urin.
Gambaran klinis biasanya asimptomatis dan baru muncul pada usia bayi enam sampai dua belas minggu, berupa craniotabes, frontal bossing, penebalan dari pergelangan tangan dan kaki, rachitic rosary (pembesaran epiphysial plate pada costochondral junction), pertumbuhan linear terhambat, hipoplasi enamel, serta adanya gangguan respirasi karena proses mineralisasi yang jelek pada costae dan kelemahan otot akibat hypophospatemic myopathy. Perubahan khas yang terjadi pada distal radius dan ulna, dimana terjadi pembesaran epifisial plate.
Diagnosis
Untuk membantu menegakkan diagnosa OOP, pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan laboratorium darah. Adanya penurunan kadar fosfat serum, yaitu kurang dari 1,5 mmol/L (suspek osteopenia), peningkatan kadar alkali fosfatase lebih dari 600 atau 800 IU/L, kadar kalsium dapat normal, meningkat, atau menurun, dengan abnormalitas rasio dari Ca2+ : PO4 (normal kurang dari 1,0) mendukung diagnosa suatu OOP.
Pemeriksaan radiologis dengan foto polos tulang untuk mengevaluasi demineralisasi tulang tidak banyak membantu, karena kelainan baru terdeteksi setelah terjadi penurunan bone mineral content (BMC) ≥ 30%. Klasifikasi yang sederhana dari gambaran radiologi OOP sebagai berikut:
•Derajat 1. Hilangnya garis densitas putih dari metafisis, peningkatan lusensi submetafiseal, dan penipisan korteks
•Derajat 2. Perubahan pada derajat 1 ditambah iregularitas dan fraying of metaphyses, dengan splaying dan cupping
•Derajat 3. Perubahan pada derajat 2 ditambah adanya fraktur.
Pemeriksaan yang lebih umum digunakan untuk menilai bone mineral density (BMD) adalah dual-energy X-ray absorpsiometry (DXA), yang sensitif dalam mendetekasi adanya perubahan-perubahan kecil BMC dan densitas, serta dapat memperkirakan risiko terjadinya fraktur. Pemeriksaan ini digunakan sebagai gold standard untuk pengukuran bone mass pada dewasa, tetapi pada pediatri secara umum dan neonatus secara khusus penggunaannya masih terbatas.
Pemeriksaan lain yang lebih sederhana, tidak invasif, dan relatif lebih murah adalah quantitive ultrasound (QUS) yang berhubungan dengan densitas dan struktur tulang, tetapi tidak menggambarkan ketebalan dari korteks tulang.
Pencegahan merupakan cara terbaik untuk mengatasi OOP. Lalu kapan kita harus mencurigai terjadinya OOP? Apakah setiap bayi prematur harus dinilai kemungkinan terjadinya OOP? Berdasarkan jurnal Acta Paediatrica tahun 2008, bayi-bayi yang berikut ini yang harus dimonitor kemungkinan terjadinya bone disease:
(1) berat lahir < 1500 gram;
(2) usia gestasi ≤ 28 minggu;
(3) menerima total parenteral nutrition (TPN) selama > 4 minggu
(4) menggunakan terapi diuretik/steroid.
Monitor dilakukan dengan pemeriksaan darah (Ca, P, dan ALP). Bila didapatkan P <1,8 mmol/L dan ALP >500 IU/L, maka dilakukan pemerikasaan urinary tubular phosphate resorbtion. Jika didapatkan TRP >95%, maka pemberian suplemen fosfat harus dilakukan. Jika tidak terjadi peningkatan kadar fosfat sedangkan kadar ALP terus meningkat, maka pertimbangkan pemberian ergo/alphacalcidol. Kadar “bone blood” (Ca, P, dan ALP) harus selalu dimonitor setiap 2 minggu bila bayi prematur tidak mendapatkan suplementasi fosfat, dan setiap minggu bila mendapatkan suplementasi fosfat.
Tata Laksana
Pemberian susu formula bayi prematur (misalnya Similac Special Care, Enfamil Prematur) atau ASI fortifikasi (brest milk with Human Milk Fortifier) pada bayi-bayi dengan berat <3,5 gram dapat mencegah maupun mengoreksi OOP. Sedangkan pada bayi-bayi yang mendapat TPN (Total Parenteral Nutrition), rasio kalsium dan fosfor harus dipertahankan 1,3-1,7:1, dan secepatnya dimulai pemberian nutrisi enteral.
Kebutuhan (mg/100ml TPN)
Kalsium 80 – 100
Fosfor 45 – 75
Meskipun kejadian osteopenia akibat defisiensi vitamin D jarang terjadi, kebutuhan vitamin D harian sebesar 500 IU harus tetap terpenuhi. Suplementasi fosfat harus segera dimulai, dengan dosis 3 mmol/kg/hari dibagi dalam 3 dosis dan dihentikan setelah kadar fosfat serum mencapai lebih dari 1,8 mml/L.2 Intervensi lain yang membantu adalah “exercise”, yaitu gerakan fisik pasif pada semua ekstremitas untuk menstimulasi pertumbuhan dan kekuatan tulang. Subtitusi dari penggunaan diuretik lasix menjadi anticalciuric diuretic, seperti chlorothiazide serta pembatasan penggunaan aminofilin dan dexamethazone juga perlu dilakukan dalam penatalaksanaan OOP.
(Dari berbagai referensi)