Program imunisasi
nasional di Indonesia sudah dijalankan oleh Kementerian Kesehatan sejak tahun
1977. Namun sebenarnya imunisasi di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka, program imunisasi dilaksanakan
sejak tahun 1956 melalui pemberian imunisasi cacar (variola) dan BCG. Setelah
dicanangkan program imunisasi nasional tahun 1977 tersebut, jenis dan jumlah
vaksin yang diberikan kepada masyarakat Indonesia terus bertambah. Saat ini vaksin
yang beredar di Indonesia dan direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan dan
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) adalah vaksin Hepatitis B, Polio, BCG, DPT-
HiB, Campak. Vaksin tersebut bisa didapatkan secara gratis di Puskesmas atau
Rumah Sakit Pemerintah. Sedangkan beberapa vaksin lain yang merupakan
rekomendasi IDAI yang juga sangat perlu untuk mendukung kesehatan bayi dan
anak, belum termasuk dalam program imunisasi gratis dari Kemenkes sehingga
masyarakat harus membayar untuk mendapatkannya. Vaksin tersebut yaitu
Rotavirus, Pneumokokus (PCV), Influenza, MMR (Mump, Measles, Rubella), Tifoid,
Hepatitis A, Varisella dan Human Papilloma Virus (HPV), bisa didapatkan di RS
swasta atau praktek dokter spesialis anak.
Vaksin adalah suatu
bahan berisi antigen (virus atau bakteri) yang dapat merangsang daya tahan
tubuh (imunitas) yang dihasilkan oleh sistem imun tubuh. Imunitas adalah
kemampuan tubuh manusia untuk menerima keberadaan bahan bahan yang dimiliki dan
dihasilkan oleh tubuh itu sendiri maupun menolak dan menghilangkan benda benda
asing yang berasal dari luar tubuh. Imunitas terhadap virus atau bakteri ini
ditandai dengan terbentuknya antibodi terhadap organisme kuman tersebut. Jadi
prinsip imunisasi adalah memberikan antigen lewat vaksin ke dalam tubuh
sehingga tubuh merespon dalam bentuk antibodi.
Adapun berbagai
penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian vaksin adalah Polio, Hepatitis B,
Hepatitis A, Tuberkulosis (TB), Difteri, Pertusis, Tetanus, Meningitis,
Pneumonia, Otitis Media, Sepsis, Diare karena Rotavirus, Campak, Gondongan,
cacar air, Tifoid/tifus, influenza dan kanker leher rahim.
Hepatitis B yang
disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) disebut sebagai silent killer, karena gejala yang tidak tampak bertahun tahun
tetapi saat diketahui, pasien sudah mengalami sirosis hati dan kanker hati
(hepatoma). Risiko kanker hati ini menjadi sangat tinggi jika infeksi Hepatitis
B terjadi pada usia dini. Karena itu, vaksin Hepatitis B diberikan segera
setelah lahir (dalam waktu 12 jam) disebabkan penularan ibu hamil yang mengidap
Hepatitis B kepada bayinya sekitar 45%. Pemberian selanjutnya yaitu pada usia 1
dan 6 bulan.
Penyakit Polio ditargetkan
bisa musnah pada tahun 2000. Sayangnya harapan tersebut tidak terwujud sehingga
strategi eradikasi Polio terus dilakukan. Data Biofarma menunjukkan bahwa virus
Polio liar sudah tidak ditemukan lagi di Indonesia sejak tahun 1995. Namun pada
Maret 2005, dilaporkan adanya penderita Polio di Sukabumi, Jawa Barat. Kemenkes
telah melakukan berbagai upaya eradikasi termasuk pelaksanaan PIN (Pekan
Imunisasi Nasional) Polio. PIN Polio tersebut baru saja dilaksanakan yaitu
tanggal 8 – 15 Maret 2016.
Penyakit lain yang bisa
dicegah dengan imunisasi yaitu difteri, yang kembali mewabah di tahun 2012. Tahun
2009, data Surveilan Kemenkes mencatat 189 kasus difteri dan terus beranjak
naik menjadi 342 kasus pada tahun 2010, 806 kasus tahun 2011 dan puncaknya tahun
2012 mencapai 1192 kasus. Di Aceh, kasus difteri juga meningkat, dari tahun
2012 ditemukan sebanyak 16 kasus dan 4 orang di antaranya meninggal. Pasien
berasal dari Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh
Barat Daya, Aceh Selatan dan Pidie Jaya. Difteri merupakan penyakit saluran
nafas berbahaya. Upaya pencegahannya melalui pemberian imunisasi DPT yang mulai
diberikan usia 2 bulan, dilanjutkan usia 4, 6 bulan dan pada saat anak memasuki
SD.
Kandungan Vaksin
Vaksin sering ditakuti
karena mengandung bahan kimia yang dikhawatirkan membahayakan kesehatan.
Sebagai produk bahan kimia, vaksin terdiri atas bahan aktif dan bahan tambahan.
Bahan aktif yaitu virus atau bakteri yang merupakan antigen. Tubuh diharapkan
menjadi kebal terhadap penyakit akibat virus/bakteri itu sehingga tidak menjadi
sakit. Bahan aktif bisa berupa virus/bakteri utuh, virus sub unit, komponen
bakteri, dan toksin bakteri. Sedangkan bahan tambahan yaitu berupa ajuvan,
pelarut, stabilisator, pengawet dan komponen trace.
Ajuvan yaitu bahan yang
digunakan untuk meningkatkan respon imun vaksin. Ajuvan sudah digunakan sejak
puluhan tahun dan bahan yang paling sering dipakai adalah aluminium. Aluminium
adalah bahan yang sehari hari berada dalam udara yang kita hirup, dalam air
yang kita minum dan dalam makanan. Bahkan kandungan aluminium dalam ASI jauh
lebih banyak daripada dalam vaksin. Pengawet
digunakan untuk mencegah kontaminasi bakteri ke dalam vaksin. Contoh pengawet
yaitu timerosal yang mengandung merkuri dan dijadikan salah satu topik
perdebatan dengan kelompok antivaksin. Merkuri yang dikandungnya adalah etil
merkuri bukan metil merkuri yang sering didapat sebagai logam berat pencemar
lautan.
Kelompok Antivaksin
Sejak bermunculan
kelompok antivaksin yang menyebar informasi tentang bahaya imunisasi secara
luas kepada masyarakat, menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran. Banyak para
orang tua yang terpengaruh setelah membaca informasi dari buku dan berita yang
disebar oleh pegiat antivaksin, dan memutuskan untuk tidak memberikan imunisasi
kepada anaknya. Hal ini tentu saja menyebabkan angka cakupan imunisasi semakin
berkurang dan sangat dikhawatirkan bahwa penyakit yang sebelumnya sudah
menghilang akan muncul kembali malah menimbulkan wabah. Akibat dari ketakutan
dan menghindari imunisasi ini dapat mengancam nyawa. Dengan menolak imunisasi, sebenarnya
yang rugi bukan saja anak sebagai individu namun juga anak anak lain yang
tinggal di sekitarnya. Sejak tahun 2007, akibat gerakan antivaksin ini telah
timbul 77.000 penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Data dari Jawa Barat
menunjukkan bahwa tahun 2010 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dengan
total penderita 739, sedangkan di tahun 2011 meningkat 35 kali. Kerugian yang
ditimbulakn karena KLB sangat besar, bukan hanya kesakitan tapi juga biaya. Bila
terjadi KLB di suatu daerah maka dana yang dibutuhkan sebesar 8 milyar, jumlah
uang yang sangat banyak dan tidak seharusnya terbuang.
Berbagai isu yang
dilempar oleh pegiat antivaksin antara lain bahwa imunisasi merupakan konspirasi
Yahudi. Mereka menyebarkan informasi bahwa imunisasi bertujuan melenyapkan
umat. Teori ini berlandaskan asumsi curiga dan kecurigaanya sama sekali tidak
rasional. Isu lain yang dilempar adalah bahwa ASI bisa menggantikan imunisasi. Memang
sejak lahir bayi sudah membawa perlindungan terhadap beberapa penyakit dari
antibodi ibunya (IgG) yang disalurkan melalui plasenta. Bayi yang mendapat ASI
juga mendapat tambahan antibodi (IgA) dari ASI. Akan tetapi perlindungan yang
didapat bayi tersebut baik dari antibodi ibu atau ASI tidak bisa digunakan
untuk melawan semua penyakit dan sifat perlindungannya hanya sementara. IgG ini
akan menghilang ketika usia anak mencapai 1 tahun.
Isu lain yang dilempar
dan sangat mempengaruhi masyarakat
muslim di Indonesia umumnya dan di Aceh khususnya yaitu tentang haramnya
vaksin. Kita perlu tahu bahwa banyak negara muslim yang melaksanakan imunisasi
di negaranya. Sampai saat ini tidak pernah terdengar ada ulama di negara muslim
yang melarang imunisasi kepada bayi dan anak di negaranya. Contohnya Syaikh
Abdul Aziz bin Baz, mufti besar Arab Saudi membolehkan vaksinasi. DR. Yusuf
Qardhawi yang berdomisili di Qatar juga membolehkan imunisasi. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan fatwa halal terhadap berbagai vaksin
yang digunakan saat ini.
Selain itu persoalan
yang sering dikaitkan dengan isu haram ini yaitu pemakaian enzim babi dalam
pembuatan vaksin. Pembuatan vaksin tidaklah sesederhana yang dipikirkan, bukan
seperti membuat obat campuran/puyer dimana semua obat yang ada termasuk enzim
babi digerus menjadi satu dan kemudian menjadi vaksin. Enzim tripsin babi itu
sebenarnya digunakan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida
dan asama amino yang menjadi bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan
kemudian difermentasi, diambil polisakarida sebagai antigen bahan pembentuk
vaksin. Selanjutnya dilakukan proses purifikasi yang mencapai pengenceran
1/67,5 milyar sampai akhirnya terbentuk produk vaksin. Jadi pada hasil akhir
proses sama sekali tidak terdapat bahan yang mengandung babi. Bahkan antigen
vaksin ini sama sekali tidak bersinggungan dengan babi baik secara langsung
atau tidak. Hal yang demikian disebut dengan istilah “istihalah”, yaitu
perubahan benda najis atau haram menjadi benda yang suci yang berubah sifat dan
namanya. Pada enzim babi tersebut sudah berubah nama dan sifatnya atau bahkan
hanya dipakai sebagai katalisator pemisah maka yang menjadi patokan adalah
sifat benda tersebut sekarang.
Dalam kenyataannya di
lapangan masih ditemui banyak orangtua yang memutuskan tidak mengimunisasi
bayi/anaknya karena berbagai alasan di atas. Konseling dari tenaga kesehatan
sangat diperlukan untuk mengantisipasi semakin merebaknya isu tersebut. Tugas
kami sebagai petugas kesehatan memberikan informasi yang valid, mengedukasi
masyarakat. Maka kami sarankan kepada masyarakat supaya dapat mencari informasi
yang shahih bukan informasi hoax,
bisa berkonsultasi ke petugas kesehatan, dokter spesialis anak. Bagi yang bisa
menggunakan internet bisa mencari informasi seputar imunisasi di website IDAI: www.idai.or.id
dan untuk di Facebook bisa bergabung di grup GESAMUN. Apabila tetap memutuskan menolak
imunisasi, kami harapkan supaya keputusan tersebut tidak mempengaruhi orang
lain di sekitar dan tidak memaksa orang lain mengikutinya.
(Tulisan ini sudah dimuat http://aceh.tribunnews.com/2016/05/14/kontroversi-imunisasi pada tanggal 14 Mei 2016)
Tidak ada komentar:
Write komentar