Infeksi HIV (Human
immunodeficiency virus) adalah infeksi virus yang memperlemah sistem kekebalan
tubuh, dan pada akhirnya menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).
AIDS merupakan sekelompok kondisi
medis yang menunjukkan lemahnya kekebalan tubuh, sering berwujud infeksi ikutan
(infeksi oportunistik) dan kanker, yang hingga saat ini belum bisa disembuhkan.
Penularan virus ini yaitu melalui cairan tubuh berupa hubungan seksual,
transfusi darah, berbagi alat suntik pada pengguna narkoba. Salah satu
akibatnya adalah jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun
semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan
hubungan seksual tidak aman, yang selanjutnya akan menularkan pada pasangan
seksualnya.
Faktor penularan virus HIV lain adalah penularan
dari Ibu kepada anaknya (penularan vertikal) yang terjadi selama masa perinatal
(kehamilan, persalinan maupun saat menyusui). Transmisi vertikal selama
kehamilan sebesar 10-25%, saat persalinan 35-40% dan melalui proses menyusui
35-40%. Risiko penularan virus HIV dari ibu ke bayinya dipengaruhi oleh
berbagai faktor yaitu faktor maternal dan neonatal. Jumlah virus (viral load)
yang terdapat pada Ibu hamil dengan infeksi HIV baru atau tahap lanjut AIDS,
menjadi faktor risiko yang utama dalam penularan HIV pada semua tahapan
kehamilan. Saat persalinan, adanya kejadian pecah ketuban dini, infeksi cairan
ketuban, prosedur persalinan invasif menjadi faktor risiko penularan. Pada masa
menyusui, lamanya menyusui disertai dengan mixed feeding dan infeksi payudara
serta adanya luka atau penyakit di mulut bayi menjadi hal yang mempermudah
penularan infeksi HIV dari Ibu kepada anaknya.
Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu
masalah kesehatan utama dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi
kematian ibu dan anak. Infeksi HIV telah ada di Indonesia sejak kasus pertama
ditemukan tahun 1987. Berdasarkan data Kemenkes sejak tahun 2005 sampai
September 2015 terdapat 184.929 kasus HIV dan kasusnya tersebar di 381 (77%)
dari 498 kabupaten/kota di seluruh Provinsi di Indonesia. Wilayah pertama
ditemukan kasus tersebut adalah Bali. Data terbaru dari Ditjen PP & PL
Kemenkes RI secara kumulatif dari 1 April 1987 sampai 31 Maret 2016, total
pasien dengan infeksi HIV adalah 191.073 kasus dan penderita AIDS adalah 77.940
kasus. Untuk Provinsi Aceh didapatkan 253 kasus HIV dan 276 kasus AIDS
(prevalensi 6.14 per 100.000 penduduk). Sedangkan untuk Sumatera Utara terdapat
11.295 kasus HIV dan 3.761 kasus AIDS (prevalensi 28.97 per 100.000 penduduk). Dari
seluruh kasus HIV yang dilaporkan ditemukan di Indonesia, terdapat 2,6% angka
penularan HIV sampai anaknya. Sekitar 90% kasus HIV pada anak kurang dari 13
tahun terjadi pada masa perinatal tersebut (Mother to Child HIV Transmission).
ASI merupakan makanan yang terbaik bagi bayi baru
lahir dan ASI diberikan secara eksklusif sampai 6 bulan (hanya memberi ASI saja
tanpa makanan dan minuman lain) kemudian diteruskan sampai dua tahun. Lantas
bagaimana bila si Ibu yang baru melahirkan tersebut terdeteksi menderita
penyakit HIV? Sampai saat ini menyusui pada Ibu pengidap HIV masih menjadi
masalah yang penting untuk dibicarakan dan masih juga menjadi perdebatan. Hal
tersebut disebabkan karena efek ganda dari pemberian ASI itu sendiri dimana efek
positifnya bahwa ASI merupakan sumber nutrisi terbaik bagi bayi akan tetapi
terdapat sisi negatif bahwa ASI menjadi media perantara penularan virus HIV
dari Ibu pengidap ke bayinya. HIV dapat
ditularkan melalui ASI selama proses laktasi, sehingga tingkat infeksi pada
bayi yang menyusu meningkat seiring dengan lamanya menyusu.
Peraturan
menteri Kesehatan RI no. 51Tahun 2013 tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV
dari Ibu ke Anak bahwa Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak dilakukan
melalui 4 (empat) prong/kegiatan, sebagai berikut: a). Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia
reproduksi; b). Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV
positif; c). Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang
dikandung; dan d). Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada
ibu HIV positif beserta anak dan keluarganya.
Adapun intervensi yang bisa dilakukan dalam upaya
untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak adalah dengan melaksanakan
kegiatan 4 program yang merujuk pada rekomendasi WHO, dimana pada dasarnya
semua ibu hamil ditawarkan tes HIV dilanjutkan dengan memberikan konseling
selama kunjungan antenatal, persalinan, dan post partum, kemudian pemberian
antiretroviral (ARV) pada ibu hamil HIV positif, pemilihan kontrasepsi yang
sesuai untuk perempuan HIV positif, pemilihan persalinan aman untuk ibu hamil
HIV positif, dan pemberian makanan terbaik bagi bayi yang lahir dari ibu HIV
positif serta memberikan rujukan untuk pelayanan medis bagi Ibu dan
keluarganya.
Rekomendasi
WHO tahun 2016 tentang pemberian ASI (menyusui) pada Ibu pengidap HIV yaitu
sebagai berikut Ibu pengidap HIV bisa menyusui selama 12 bulan dan bisa
melanjutkan menyusui sampai 2 tahun atau lebih lama (seperti halnya ibu ibu
lain) selamasi Ibu mengkonsumsi ARV.
Pemilihan
jenis makanan pada bayi baru lahir dari Ibu penderita HIV sepenuhnya diserahkan
ke tangan Ibu. Peran petugas kesehatan adalah memberikan konseling dan edukasi
lengkap tentang risiko penularan. Risiko penularan meningkat bila diberikan ASI
eksklusif sebesar 5-15%, pemberian mixed feeding meningkatkan risiko penularan
24% sedangkan bila diberikan susu
formula risiko penularan 0%. Berbagai penelitian menunjukkan hasil yang
bervariasi dari peningkatan risiko yang minimal hingga dua kali peningkatan
dibandingkan susu formula. Yang perlu kita perhatikan adalah angka tertinggi
penularan penyakit HIV pada kasus menyusui adalah 40% yang berarti 60%nya tidak
tertular. Akan tetapi karena virus HIV ini merupakan virus yang fatal, maka
keseluruhan situasinya harus benar benar dipikirkan dengan baik saat Ibu hamil
diketahui menderita HIV positif.
ASI memenuhi kebutuhan
nutrisi optimal selama 6 bulan pertama dan menurunkan risiko kesakitan dan
kematian akibat berbagai penyakit seperti diare, pneumonia. Bila ibu memutuskan
untuk memberikan susu formula maka pemberian susu formula tersebut harus
memenuhi persyaratan AFASS (Acceptable, Feasible, Affordable, Sustainable,
Safe). Acceptable (mudah diterima) berarti tidak ada hambatan sosial budaya
bagi Ibu untuk memberikan susu formula bagi bayi. Feasible (mudah dilakukan)
berarti bahwa ibu dan keluarga memiliki waktu, pengetahuan dan ketrampilan yang
memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayinya. Affordable
(terjangkau) berarti Ibu dan keluarga mampu menyediakan susu formula.
Sustainable (berkelanjutan) berarti bahwa susu formula harus diberikan setiap
hari sampai 6 bulan dan diberikan dalam bentuk segar serta persediaan dan
distribusi susu formula tersebut dijamin keberadaannya. Safe (aman) berarti
susu formula harus disimpan, dipersiapkan, dan diberikan secara benar dan
higienis. Kementerian Kesehatan merekomendasikan pemberian susu formula bila
syarat AFASS terpenuhi.
Pada Ibu yang memutuskan memberikan ASI, cara untuk
memberikannya adalah dengan memerah dan kemudian melakukan pemanasan. Memanaskan ASI hingga 60 derjat Celsius
selama lebih kurang 30 menit dapat membunuh virus yang terdapat dalam ASI
(pasteurisasi). Cara lain yang dianggap lebih mudah dikerjakan adalah dengan
metode flash-heating, yaitu dengan cara menaruh ASI dalam tempat kemudian
ditaruh di panci kecil berisi air kemudian dipanaskan. Setelah mendidih segera
diangkat dan dibiarkan dingin sampai suhu badan manusia. Cara ini tidak
mengganggu kadar vitamin A, meskipun menurunkan kadar vitamin B2 dan B6.
Bila seorang perempuan sudah terdeteksi menderita
HIV maka segera diberikan terapi ARV. Manfaat pengobatan tidak sekadar untuk
kesehatan si Ibu sendiri. Mengobati HIV akan mengurangi risiko bayi terinfeksi
HIV menjadi hampir nol. Tanpa pengobatan, kurang lebih satu dari empat bayi
yang terlahir dari ibu HIV-positif akan terinfeksi saat lahir. Walaupun ini
berarti tiga dari empat tidak terinfeksi, risiko ini terlalu besar, terutama
karena dengan pengobatan HIV hampir semua bayi tersebut dapat bebas HIV waktu
lahir.
Dalam hal pemberian ASI pada situasi ibu mengidap infeksi HIV memerlukan
pertimbangan atas keuntungan dan kerugiannya. Meskipun memberi ASI artinya menambah
risiko bayi tertular HIV, tetapi untuk negara berkembang dengan sumber daya
penyediaan susu formula terbatas, peningkatan risiko tersebut dikompensasi dengan
berkurangnya risiko akibat penggunaan
susu formula yang tidak aman. Terlepas dari semua hal yang disebutkan
sebelumnya, pencegahan supaya tidak terinfeksi virus HIV jauh lebih baik
ditempuh. Baik itu berupa penghindaran dari hubungan seksual bebas,
penghindaran dari pemakaian narkoba dan menjalankan hidup sehat.
*Dr.
Aslinar, SpA, M. Biomed
Ketua
Aceh Peduli ASI
Pengurus
IDAI Aceh dan IDI Aceh Besar
Tidak ada komentar:
Write komentar