Kemudian pada tahun 2014, kota Padang
juga melaporkan kasus difteri dan juga dinyatakan sebagai KLB. Tahun 2009, data
Surveilan Kemenkes mencatat 189 kasus difteri dan terus beranjak naik menjadi
342 kasus pada tahun 2010, 806 kasus tahun 2011 dan puncaknya tahun 2012
mencapai 1192 kasus. Kemudian pada tahun 2015 ditemukan 252 kasus difteri dengan jumlah kasus
meninggal sebanyak 5 kasus sehingga CFR
difteri sebesar 1,98%. Di Aceh, kasus difteri juga meningkat, dari tahun
2012 ditemukan sebanyak 16 kasus dan 4 orang di antaranya meninggal. Pasien
berasal dari Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh
Barat Daya, Aceh Selatan dan Pidie Jaya.
Dan
di awal tahun 2017 ini berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh
kembali ditemukan kasus difteri sebanyak 18 kasus di Aceh Timur, 1 kasus (Aceh
Tamiang), 4 kasus (Aceh Utara), 7 kasus (Pidie Jaya), 6 kasus (Banda Aceh), 1
kasus (Aceh Besar), 1 kasus (Lhokseumawe) dan 1 kasus lagi dari Bireuen.
Dilaporkan ada 2 kasus difteri tersebut yang meninggal.
Difteri merupakan penyakit yang
sangat menular. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.
Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian yang disebabkan
oleh obstruksi (sumbatan) laring atau karena miokarditis (komplikasi pada
jantung). Bakteri penyebab penyakit ini mengeluarkan toksin (racun) yang bisa
menyebabkan pembengkakan tonsil (amandel) hingga menutup jalan nafas. Toksin
yang dihasilkan tersebut juga bisa menyebar ke organ tubuh lain seperti jantung
(miokarditis), sistem saraf (neuritis) dan ginjal (glomerulonefritis).
Difteria ditularkan melalui kontak
dengan pasien atau melalui droplet (percikan) ketika batuk, bersin atau saat
berbicara. Muntahan atau pun debu juga bisa merupakan wahana penularan penyakit
ini. Kuman yang terpercik akan masuk ke mukosa di sekitar mulut kemudian akan
melekat serta berkembang biak di bagian permukaan mukosa saluran pernafasan
bagian atas dan mulai menghasilkan toksin yang akan disebarkan ke
sekelilingnya. Selanjutnya akan dibawa ke seluruh tubuh melalui aliran darah.
Berat ringannya gejala yang timbul sangat bervariasi dari tanpa gejala sampai
yang berat bahkan fatal akibatnya. Faktor yang berperan adalah sistem imunitas
orang yang diserang, virulensi dan kemampuan kuman membentuk toksin. Faktor
yang lain adalah usia, penyakit yang sedang diderita, dan penyakit yang ada di
lokasi saluran nafas atas yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas difteria (masa
dimulai dari saat infeksi sampai timbul gejala) berkisar 2-6 hari dan biasanya
pasien baru dibawa berobat setelah beberapa hari menderita demam.
Tujuan pengobatan pasien difteri
adalah menginaktivasi toksin kuman secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit atau komplikasi yang timbul minimal, mengurangi jumlah kuman untuk
mencegah penularan dan mengobati infeksi lain yang menyertai. Pasien dirawat
dalam ruang isolasi, istirahat yang cukup dan pemberian cairan serta gizi yang
adekuat. Pengobatan berupa pmberian ADS (Anti Difteria Serum), juga Antibiotika
diberikan selama 10 hari. Untuk keluarga atau orang yang kontak dengan
penderita difteri harus diperika oleh dokter untuk menentukan apakah mereka
juga menderita atau hanya karier (pembawa kuman) difteri dan mendapat
pengobatan antibiotika Erythromisin selama 5 hari. Untuk anggota keluarga yang
dinyatakan sehat, segera dilakukan imunisasi DPT (Diphteri Pertusis Tetanus),
dimana apabila belum pernah mendapat imunisasi DPT, diberikan DPT tiga kali
dengan interval masing masing 4 minggu. Apabila imunisasi belum lengkap segera
dilengkapi (dilanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu
diulang) dan apabila telah lengkap imunisasi dasar (saat usia <1 1x.="" ditambah="" dpt="" imunisasi="" perlu="" span="" tahun="" ulangan="">1>
Himbauan
kepada seluruh masyarakat agar bisa mengenali gejala awal difteri. Segera ke
Puskesmas atau Rumah sakit apabila anak mengeluh nyeri tenggorokan disertai
dengan suara berbunyi seperti mengorok, khususnya anak di bawah 15 tahun.
Merebaknya
kembali penyakit difteri menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana cakupan angka
imunisasi saat ini di Indonesia, khususnya di Aceh? Angka cakupan imunisasi di
Indonesia pada tahun 2015 yaitu 86,54 %, angka tersebut belum mencapai target
renstra yaitu 91%. Dibandingkan periode tahun 2008-2011, cakupan imunisasi
dasar lengkap periode tahun 2012-2015 di Indonesia mengalami penurunan.
Terdapat hanya 10 provinsi yang mencapai target. Sedangkan untuk Provinsi Aceh
cakupan imunisasi lengkap hanya 67,05% (termasuk ke dalam 4 provinsi dengan
capaian terendah). Berdasarkan Data dari
Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI tahun 2016
(update sampai Mei 2016), angka kejadian difteri kembali meningkat yaitu
sebesar 502 kasus dibandingkan tahun` 2014 ditemukan sebesar 394 kasus.
Berbagai hal yang
diperkirakan menjadi penyebab kembali merebak berbagai penyakit yang bisa
dicegah dengan imunisasi adalah: 1). Imunisasi gagal membentuk antibodi secara
maksimal pada anak. Vaksin DPT merupakan vaksin mati sehingga untuk
mempertahankan kadar antibodi menetap tinggi di atas ambang pencegahan, sangat
diperlukan pemberian imunisasi ulangan. Imunisasi DPT sebanyak 5 kali harus
dipenuhi sebelum anak berusia 6 tahun. 2). Banyak dari orang tua yang tidak
membawa anaknya imunisasi karena sedang sakit di saat jadwal imunisasinya tiba.
Kemudian terlupa sehingga akhirnya tanpa imunisasi sama sekali, 3). Cakupan
imunisasi gagal mencapai target, salah satu hal yang menyebabkan rendahnya
cakupan imunisasi di Aceh adalah karena banyak orang tua yang menolak dilakukan
imunisasi pada anaknya. Mereka terprovokasi oleh kelompok anti vaksin yang
secara gencar mengkampanyekan hal hal negatif tentang imunisasi baik itu berupa
isu kandungan vaksin, isu haramnya dan efek vaksin bila diberikan kepada bayi
dan anak. Tugas kita bersama para petugas kesehatan untuk tidak henti hentinya
memberikan penyuluhan dan edukasi tentangnya pemberian imunisasi. Imunisasi
bisa didapatkan gratis di Puskesmas. Sampai saat ini tidak pernah terdengar ada
ulama di negara muslim yang melarang imunisasi kepada bayi dan anak di
negaranya. Contohnya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti besar Arab Saudi
membolehkan vaksinasi. DR. Yusuf Qardhawi yang berdomisili di Qatar juga
membolehkan imunisasi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan
fatwa halal terhadap berbagai vaksin yang digunakan saat ini.Sudah diterbitkan dalam Rubrik Opini Serambi Indonesia http://aceh.tribunnews.com/2017/02/11/difteri-pada-anak
Tidak ada komentar:
Write komentar