Setiap
tanggal 21 Maret diperingati sebagai Hari Sindrom Down Dunia. Pertama kali
ditetapkan pada tahun 2006 oleh Lembaga Down Syndrom International dan tahun
2007 oleh WHO. Sedangkan PBB secara resmi menetapkan tanggal 21 Maret sebagai
Hari Sindrom Down Sedunia yaitu pada tahun 2012. Dipilihnya tanggal tersebut
berdasarkan kelainan yang ada pada Sindrom Down yaitu kromosom 21 yang memiliki
trisomi (3). Sindrom Down (SD) adalah
kelainan genetik yang paling sering ditemukan dan berhubungan dengan retardasi
mental yang disebabkan oleh adanya kelebihan materi genetik kromosom 21. Angka
kejadiannya di dunia diperkirakan adalah 1 kasus setiap 600-800 kelahiran. Diperkirakan
saat ini terdapat 4 juta penderita sindrom down di seluruh dunia. Sebuah
penelitian di Universitas Indonesia mendapatkan bahwa terdapat 300.000 anak
yang lahir dengan SD di Indonesia. Sedangkan untuk jumlah penyandang SD di
Aceh, penulis belum mendapatkan data yang jelas.
Istilah
Sindrom Down berasal dari nama seorang dokter dari Inggris yaitu John Langdon
Down yang pada tahun 1866 menemukan sekelompok anak dengan retardasi mental dan
penampakan wajah yang hampir mirip satu dengan yang lainnya. Kemudian di tahun
1959, seorang ahli bernama Jerome Lejeume menemukan bahwa semua individu dengan
gambaran khas tersebut memiliki cetakan ketiga kromosom 21 sehingga total
kromosomnya yaitu 47 kromosom. Sebagai perbandingan, bayi normal dilahirkan
dengan jumlah 46 kromosom (23 pasang) yaitu hanya sepasang kromosom 21 (2
kromosom 21). Sedangkan bayi dengan penyakit Sindrom Down terjadi disebabkan
oleh kelebihan kromosom 21 dimana 3 kromosom 21 menjadikan jumlah kesemua
kromosom ialah 47 kromosom. Keadaan ini bisa terjadi pada kedua jenis kelamin (lelaki
dan perempuan).
Karakteristik fisis anak dengan SD cukup jelas
sehingga para tenaga kesehatan yang mengadakan kontak awal dengan bayi baru
lahir, termasuk dokter ahli kebidanan dan kandungan, perawat kamar bersalin,
dan dokter umum, segera bisa mengenali kelainan ini dengan relatif mudah. Umumnya
bayi dengan Sindrom Down memiliki ciri ciri yang khas. Pada saat lahir bisa dengan
berat yang normal namun hipotoni (kelemahan tonus otot). Penampilan yang
karakteristik berupa kelainan bentuk wajah, batang hidung yang datar,
brakisephali (kondisi bentuk kepala memendek dari depan ke belakang sepanjang
potongan sagital), lipatan sudut mata dan lidah besar yang menonjol. Bayi juga
memiliki tangan pendek yang lebar, seringkali dengan guratan palmar (telapak
tangan) yang melintang, dan jarak yang lebar antara jari kaki pertama dan
kedua. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relatif
pendek, kepala mengecil, hidung yang datar tersebut menyerupai orang Mongoloid
maka sering juga dikenal dengan mongolisme. Namun istilah tersebut tidak dipakai lagi saat ini.
Sekitar 40% anak
dengan Sindrom Down memiliki penyakit jantung bawaan. Kelainan jantung yang
paling sering berupa AVSD (Atrio Ventricular Septal Defect) dimana terdapat
defek (lubang) antara septum ventrikel (bilik jantung) atau septum atrium
(serambi jantung) ataupun kelainan katup.
Sekitar 1% bayi dengan SD mengalami hipotiroid kongenital, yaitu suatu
keadaan dimana berkurangnya hormon tiroid sejak lahir. Hipotiroid kongenital
bisa diidentifikasi melalui program skrining bayi baru lahir. Hipotiroid adalah
masalah yang lebih sering dijumpai dan fungsi tiroid harus dimonitor secara
berkala selama kehidupan anak. Sebanyak
75% bayi SD dilahirkan dari perempuan berusia di bawah 35 tahun. Namun demikian
karena hanya 5% dari seluruh jumlah bayi yang lahir dari perempuan usia di atas
35 tahun dan diantaranya sebanyak 25% mengalami SD, maka risiko memiliki anak
dengan SD meningkat seiring bertambahnya usia ibu di saat melahirkan. Insidensnya
pada wanita yang hamil diatas usia 35 th meningkat dengan cepat menjadi 1
diantara 250 kelahiran bayi. Di atas 40 tahun semakin meningkat lagi, 1
diantara 69 kelahiran bayi.
Risiko rekurensi (berulang) untuk orang tua yang
telah memiliki anak SD tergantung temuan sitogenetik anak tersebut. Bila
ditemukan trisomi 21 maka risiko rekurensinya adalah 1 % untuk kehamilan
berikutnya. Anak dengan SD berkaitan dengan retardasi mental. Derajat retardasi
mental bervariasi yaitu retardasi mental ringan (IQ 50-70), sedang (IQ 35-49)
dan berat (IQ 20-34). Pada SD derajat retardasi mental berupa ringan sampai
sedang. Anak SD dengan retardasi mental sedang atau berat mungkin tidak dapat
mengungkapkan pemikiran dan persepsi mereka. Anak yang menderita retardasi
mental ringan masih dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan lebih akurat dan
dapat mengungkapkan perasaan, pemikiran, dan persepsi mereka.
Masalah
kesehatan yang lain yaitu berupa gangguan pendengaran dan penglihatan. Gangguan
pendengaran bisa bersifat konduktif ataupun sensorineural. Sedangkan gangguan
penglihatan berupa terjadinya katarak kongenital ataupun strabismus (mata
juling). Ditemukan juga kelainan di daerah Telinga, Hidung dan Tenggorokan.
Sering terjadi sumbatan saluran nafas, nafas berbunyi mendengkur, posisi tidur
terkadang kurang lazim dimana tidur membungkuk atau duduk dengan kepala hampir menyentuh lulut).
Gangguan perilaku, penurunan intelektual dan kemampuan fungsional sering
ditemukan pada anak SD.
Stimulasi sedini mungkin sebaiknya
diberikan kepada bayi yang DS. Baik berupa terapi bicara, olah tubuh, karena
otot-ototnya cenderung lemah. Stimulasi juga bisa dengan beragam permainan
layaknya pada anak balita normal, walaupun respons dan daya tangkap tidak sama,
bahkan mungkin sangat minim karena keterbatasan intelektualnya. Hal ini
bertujuan untuk memberi lingkungan yang memadai bagi anak dengan SD dalam
latihan latihan motorik kasar dan halus serta kemampuan berbahasa. Kemandirian
anak dalam hal berpakaian, makan, belajar, BAB/BAK, mandi juga sangat
diharapkan bisa tercapai. Penanganan fisioterapi juga sangat dibutuhkan bagi
anak anak terutama dalam hal motorik kasar, memperbaiki postur tubuh yang
salah, serta mengajarkan pada anak gerakan fisik yang tepat. Pendampingan oleh orangtua
sangat diperlukan karena merekalah nanti yang paling berperan dalam melakukan
latihan di rumah setelah selesai terapi diberikan. Untuk itu sangat dianjurkan
untuk orangtua mendampingi anak selama sesi terapi agar mereka mengetahui
apa-apa yg harus dilakukan di rumah.
Anak dengan
SD memiliki juga memiliki masalah tumbuh kembang yang cukup kompleks, maka
skrining pra dan pasca kelahiran, intervensi dini, dan pemantauan tumbuh
kembang yang terus-menerus perlu dilakukan agar anak dengan SD dapat memiliki
kualitas hidup yang lebih baik. Tata laksana medis, dukungan keluarga,
pendidikan, dan pelatihan khusus dapat meningkatkan kemampuan anak dengan SD
secara bermakna dan menjembatani transisi menuju kedewasaan. Penderita harus
mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam
menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran
perkembangan baik fisik maupun mentalnya.
Dukungan
keluarga sangat berarti dalam perkembangan anak dengan SD. Ada sebagian orang
tua atau keluarga yang merasa malu dengan kondisi anaknya. Mereka merasa
terpukul saat disampaikan bahwa buah hati mereka adalah seorang penderita SD. Bahkan
ada sebagian orang tua yang tega menolak atau membuang bayinya atau menitipkan
di Panti Asuhan. Padahal seorang anak adalah amanah Allah yang harus kita jaga
dan didik bagaimanapun kondisinya. Akan tetapi tidak sedikit juga orang tua
yang gigih dan telaten dalam mendidik dan merawat anaknya yang terlahir dalam
kondisi SD. Luar biasa penghargaan yang seharusnya kita berikan kepada seorang
Ibu atau keluarga yang bisa menerima apapun kondisi anaknya. Kepada mereka
harus kita berikan dukungan penuh, salah satunya dengan tidak menyisihkan
kehidupan mereka. Tidak menganggap bahwa yang diderita anaknya adalah suatu hal
yang aneh atau malah suatu ‘kutukan”, dan tetap bergaul seperti biasa.
Keterbatasan
fisik dan mental bukanlah menjadi suatu
halangan bagi seseorang untuk berpretasi dan meraih kesuksesan. Sangat
dibutuhkan peran besar kedua orang tua dan lingkungan untuk mendidik dan
mengarahkan pada kegiatan yang positif sehingga anak menjadi mandiri dan malah
bisa menginspirasi banyak orang. Penderita SD banyak yang berprestasi baik di
tingkat nasional maupun Internasional baik di bidang seni, menari maupun
olahraga. Ini berarti bahwa harapan dan kualitas hidup mereka sudah jauh
meningkat dibandingkan tahun tahun sebelumnya. Saat ini juga sudah berdiri
organisasi POTADS (Persatuan Orang Tua Anak dengan Sindrom Down) di Indonesia,
dimana mereka saling memberi dukungan dan bertukar pikiran dalam membesarkan
anak anak mereka yang terlahir sebagai Sindrom Down. Mereka aktif
mensosialisasikan tentang Sindrom Down dan memberdayakan para orang tua anak
dengan SD agar selalu bersemangat untuk membantu tumbuh kembang anak spesialnya
secara maksimal, mampu menjadi pribadi yang mandiri bahkan bisa berprestasi
sehingga bisa diterima oleh masyarakat luas. SALUT buat mereka!!
*dr. Aslinar, SpA, M. Biomed
Staf Pengajar FK
Universitas Abulyatama
Pengurus IDAI
Aceh & IDI Aceh Besar
Tidak ada komentar:
Write komentar