Thalassemia
adalah penyakit dengan kelainan genetik yang menyebabkan kelainan sel darah
merah. Penyakit Thalassemia ini merupakan penyakit genetik terbanyak di dunia
yang saat ini sudah dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai
masalah kesehatan di dunia termasuk juga di Indonesia. Setiap tahunnya Hari
Thalassemia diperingati pada tanggal 8 Mei. Hal tersebut bertujuan untuk
memberikan sosialisasi kepada masyarakat luas tentang apa itu Thalassemia dan
berbagai upaya pencegahannya. Thalassemia berasal dari bahasa Yunani “Thalassa” yang berarti
laut, dimana pertama kali kasusnya ditemukan di Laut Tengah dan pada akhirnya
meluas di Wilayah Mediterania, Afrika, Asia Tengah, Indian, Burma, China dan
Indonesia.
Penyakit
Thalassemia ditemukan di seluruh dunia dengan prevalensi gen Thalassemia
tertinggi di beberapa negara tropis. Lebih kurang 3% dari penduduk dunia
mempunyai gen Thalassemia dimana angka tertinggi sampai dengan 40% kasus adalah
di Asia. Di wilayah Asia Tenggara terdapat 55 juta orang pembawa gen
Thalassemia.
Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki penduduk dengan pembawa gen
Thalassemia adalah 3-10%. Artinya bahwa 3-10 dari 100 penduduk merupakan
pembawa gen Thalassemia. Saat ini terdapat 7238 penderita Thalassemia dengan
kebutuhan rutin transfusi dan berupa Thalassemia mayor. Jumlah terbanyak
penderita tersebut berasal dari Provinsi Jawa Barat yaitu mencapai 42% dari
seluruh penderita di Indonesia. Jumlah penderita Thalassemia di Aceh saat ini
mencapai lebih 300 orang. Pada tahun 2013 tercatat sebanyak 180 orang, tahun
2014 bertambah menjadi 255 orang.
Kelainan
genetik (bawaan) yang terjadi pada Thalassemia ini yaitu berupa tidak terbentuk
atau berkurangnya salah satu rantai globin baik itu α maupun β yang merupakan
komponen penyusun utama molekul hemoglobin normal. Berdasarkan hal tersebut Thalassemia
diklasifikasikan sebagai Thalassemia α dan Thalassemia β. Akan tetapi secara
klinis maka Thalassemia dibagi menjadi 1). Thalassemia mayor, dimana penderita
memerlukan transfusi darah seumur hidupnya, 2). Thalassemia intermedia bila
pasien membutuhkan transfusi tapi tidak rutin dan 3). Pembawa sifat Thalassemia
(carrier)/Thalassemia minor bila tanpa gejala dan secara kasat mata tampak
normal.
Penyakit
thalassemia ini diturunkan berdasarkan hukum Mendel dimana bila ada dua orang
pembawa sifat yang menikah maka kemungkinan berpeluang mempunyai 25% anak yang
sehat, 50% anak pembawa sifat dan 25% penderita Thalassemia mayor. Dan peluang
tersebut bisa terjadi di setiap kehamilan jadi bisa saja dalam satu keluarga
ditemukan lebih dari satu orang atau
semua anaknya sebagai penderita Thalassemia mayor. Ataupun semua anaknya tampak
sehat karena tidak memberikan gejala sama sekali akan tetapi belum tentu sehat
karena mereka tetap berpeluang sebagai pembawa sifat.
Gejala
yang tampak pada penderita Thalassemia khususnya Thalassemia Mayor adalah
tampak pucat, bentuk wajah khas, ditemukan kondisi kuning di mata dan kulit,
adanya gangguan pertumbuhan dan perut tampak membesar karena pembesaran limpa.
Organ limpa yang membesar akibat dari kompensasi dari anemia yang sudah lama
berlangsung (kronis) dimana limpa sebagai organ yang bekerja keras membantu
kerja tulang untuk membentuk sel darah merah. Bentuk wajah yang khas yaitu
berupa facies cooley dimana ini
merupakan ciri khas penderita Thalassemia mayor. Batang hidung tampak masuk ke
dalam dan tulang pipi menonjol akibat sumsum tulang yang bekerja terlalu keras
untuk mengatasi kekurangan Hb. Anak yang menderita Thalassemia akan tumbuh
lebih lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya
yang normal. Pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan darah berupa Hemoglobin
(Hb), retikulosit, gambaran darah tepi, MCV, MCH, dan pemeriksaan
elektroforesis Hb.
Kondisi
anemia dan harus menjalani transfusi darah rutin dan jangka panjang (seumur
hidup) tidak hanya mempengaruhi fungsi fisik namun juga fungsi kondisi
emosional, psikososial dan masalah sekolah. Ini semua berdampak pada kualitas
hidup mereka. Dalam hal pendidikan tampak sekali pengaruhnya dimana performa
anak penderita Thalassemia lebih rendah dibandingkan dengan anak yang sehat.
Anak sering tidak masuk sekolah karena harus menjalani perawatan untuk
transfusi darah, mengalami keluhan fisik juga penurunan prestasi belajar karena
sering tidak masuk sekolah dan menurunnya aktivitas belajar.
Sampai sekarang penyakit Thalassemia
ini belum bisa disembuhkan. Transfusi
darah diberikan bila kadar Hb mulai rendah dan rata rata seorang anak penderita
Thalassemia mayor membutuhkan transfusi darah setiap bulannya untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Penting diketahui untuk tidak menunggu
waktu transfusi hingga kadar Hb yang terlalu rendah. Kadar Hb antara
9-10 g/dL adalah nilai yang baik untuk dilakukannya transfusi darah, untuk
memperlambat munculnya komplikasi dan memperbaiki kualitas hidup mereka .
Tindakan transfusi juga harus memperhatikan kualitas darah yang diberikan yaitu
sebaiknya darah yang digunakan adalah yang rendah leukosit dan ini sudah
tersedia di Unit Transfusi Darah (UTD) PMI.
Transfusi
darah yang terus menerus akan menyebabkan penumpukan zat besi dalam tubuh. Oleh
karenanya untuk mengeluarkan besi dari tubuh diberikan agen kelasi besi berupa
obat yang diminum yaitu berupa Deferiprone dan Deferasirox. Tujuan utama
pemberian terapi kelasi besi adalah mencapai kadar besi tubuh yang aman.
Pemberian terapi kelasi besi yang adekuat dan kepatuhan pasien sangat
menentukan keberhasilan terapi. Semakin cepat diagnosis Thalassemia ditegakkan
dan semakin cepat anak mendapatkan transfusi darah yang adekuat maka harapan
dan kualitas hidup akan semakin baik.
Pencegahan
Oleh
karena thalassemia ini ini merupakan penyakit genetik dan akan disandang seumur
hidup oleh penderitanya, memberikan konsekuensi jangka panjang yang harus
diderita oleh pengidapnya dan dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya,
maka diperlukan usaha pencegahannya. Dari segi perawatan, Thalassemia ini membutuhkan
biaya sangat besar yang harus dikeluarkan oleh suatu negara. Biaya pengobatan
suportif seperti transfusi darah dan obat kelasi besi seumur hidup seorang
penderita thalassemia berkisar 200-300 juta rupiah/anak/tahun di luar biaya
pengobatan jika terjadi komplikasi. Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan
jauh sangat mahal dibandingkan dengan skrining buat pencegahan.
Program
pencegahannya yaitu berupa skrining pembawa sifat thalassemia dan diagnosis
prenatal. Dengan skrining untuk program pencegahan Thalassemia ini akan lebih
menguntungkan daripada mengobati penderita yang terus bertambah. Skrining
dilakukan terutama pada pasangan usia subur dan dilanjutkan dengan diagnosis
prenatal. Skrining pada usia subur adalah dengan mencegah pernikahan antara
penderita Thalasemia minor atau pembawa sifat Thalassemia. Hal tersebut bisa
diketahui dengan dilakukan tes darah melalui program skrining. Program ini
dipilih berdasarkan alasan besarnya angka kejadian thalassemia mayor, adanya
ketersediaan sumber daya dan alat, adanya quality control. Akan tetapi sebelum
dilakukan skrining yang sangat penting adalah pemberian edukasi kepada
masyarakat. Tanpa adanya edukasi maka program skrining ini malah akan
menimbulkan keresahan di masyarakat dimana akan muncul penanda atau
stigmatisasi terhadap karier (pembawa sifat), atau pasien dan nantinya kan
berlanjut menjadi diskriminasi dalam hal pekerjaan. Ini akan berimplikasi
terhadap psikososial.
Biaya
pemeriksaan skrining Thalassemia yaitu sekitar 300-450 ribu rupiah per orang.
Jumlah yang jauh lebih murah dibandingkan biaya pengobatan seorang penderita
thalassemia. Target populasi yang akan diskrining yaitu anggota keluarga dari
pasien thalassemia mayor, juga pasangan yang akan menikah, pasangan yang akan
mempunyai anak dan ibu hamil beserta pasangannya. Untuk populasi terakhir,
dibutuhkan pertimbangan yang matang dan diskusi dengan ahli agama apabila
nantinya diagnosis prenatal menunjukkan janin membawa sifat thalassemia atau
menderita kelainan yang berat. Jadi kita sangat mengharapkan agar program
skrining ini bisa dilakukan oleh Pemerintah dan menjadi program rutin dan
gratis tentunya yang ditujukan pada pasangan usia subur sehingga bisa mencegah
pernikahan antara dua pihak pembawa sifat Thalassemia dimana nantinya lahirnya
penderita Thalassemia atau pembawa sifat Thalassemia yang baru bisa dikurangi
jumlahnya.
*dr. Aslinar,
SpA, M. Biomed
Staf Pengajar di
Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama
Pengurus IDI
Aceh Besar dan IDAI Aceh
Tidak ada komentar:
Write komentar