Pada bulan Agustus 2017 lalu, dicanangkan
sebagai bulan pelaksanaan imunisasi MR. Program ini dilaksanakan di Pulau Jawa
sedangkan pelaksanaan di luar Pulau Jawa termasuk di Aceh akan dilakukan pada
bulan Agustus 2018. Imunisasi MR (Morbili dan Rubella) merupakan program
imunisasi yang baru disubsidi oleh Pemerintah. Vaksin MR ini untuk mencegah penyakit morbili (campak) dan
rubella. Vaksin MR yang digunakan telah mendapat rekomendasi dari WHO dan izin
edar dari BPOM. Vaksin ini aman dan sudah digunakan di 141 negara di dunia. Vaksin MR diberikan pada usia 9
bulan sampai 15 tahun. Vaksin ini akan menggantikan posisi vaksin campak yang
pemberiannya sama yaitu usia 9 bulan, 18 bulan dan kelas 1 SD.
Penyakit campak dan rubella merupakan
penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui saluran nafas.
Komplikasi yang timbul akibat penyakit campak yaitu bisa menyebabkan radang
paru (pneumonia), radang otak (ensefalitis) dan komplikasi pada mata bahkan
kematian. Sedangkan Rubella biasanya merupakan penyakit ringan pada anak, akan
tetapi bisa menulari ibu hamil pada trimester pertama (awal kehamilan) sehingga
bisa menyebabkan keguguran atau menimbulkan komplikasi pada bayi yang dilahirkan
berupa timbul kecacatan baik itu bocor jantung, timbul katarak dan dan
ketulian. Ini disebut dengan Sindrom Rubella Kongenital.
Sebelum dilaunching vaksin MR ini,
di Indonesia sudah terdapat berbagai jenis vaksin yang selama ini beredar dan
diberikan dalam program imunisasi rutin di Indonesia dan bisa didapatkan secara
gratis di Puskesmas. Imunisasi yang dimaksud adalah Hepatitis B, Polio tetes
dan suntikan, BCG, DPT Hib, Campak. Berbagai vaksin tersebut bertujuan untuk
mencegah timbulnya penyakit Hepatitis B, polio, Tuberkulosis (TBC), Difteri, Pertusis,
Tetanus dan Campak.
Bagaimana pencapaian target
imunisasi di Aceh? Berdasarkan data terbaru dari Seksi Surveilans dan Imunisasi
P2P Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, angka cakupan imunisasi dasar lengkap di
Aceh belum mencapai target. Untuk tahun 2015 angka cakupan Imunisasi Dasar
Lengkap (IDL) Aceh yaitu 74% sedangkan di tahun 2016 malah menunjukkan penurunan
menjadi 70%. Untuk tahun 2015 masih terdapat 6 kabupaten/kota dengan angka IDL
>90% masing masing adalah Kota Banda Aceh, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo
Lues, Bener Meriah dan Kota Langsa. Sedangkan di tahun 2016 hanya 3
Kabupaten/kota dengan angka IDL >90% yaitu Bener Meriah, Kota Langsa dan
Kabupaten Aceh Tenggara. Indikator
untuk menilai keberhasilan pelaksanaan imunisasi adalah UCI (Universal Child
Immunization). Desa UCI adalah gambaran suatu desa dimana >80% dari jumlah
bayi (0-11 bulan) mendapat imunisasi dasar lengkap. Tahun 2015, capaian UCI di
Aceh adalah sebesar 68% sedangkan tahun 2016 kembali menurun yaitu 65%.
Berbagai faktor yang menyebabkan
makin turunnya angka cakupan imunisasi tersebut dan menjadi tantangan bagi
program imunisasi di Aceh adalah karena adanya penolakan dari masyarakat. Baik
disebabkan karena ketakutan akan efek demam yang timbul pasca imunisasi ataupun
efek lain yang dikhawatirkan terjadi, para orang tua yang tidak membawa anaknya
imunisasi karena sedang sakit di saat jadwal imunisasinya tiba, kemudian
terlupa sehingga akhirnya tanpa imunisasi sama sekali. Juga berbagai info yang tidak bertanggung jawab
sudah banyak menyebar ke masyarakat baik itu melalui media sosial ataupun
selebaran atau bahkan berupa buku dan tabloid. Gerakan antivaksin semakin
menunjukkan eksistensinya di Indonesia.
Akibatnya penyakit yang sudah lama menghilang
kembali muncul. Pada Maret 2005, dilaporkan adanya penderita Polio di Sukabumi,
Jawa Barat. Kemenkes telah melakukan berbagai upaya eradikasi termasuk
pelaksanaan PIN (Pekan Imunisasi Nasional) Polio. PIN Polio tersebut sudah
dilaksanakan tanggal 8 – 15 Maret 2016. Selain itu penyakit difteri kembali
mewabah di tahun 2012. Tahun 2009, data Surveilan Kemenkes mencatat 189 kasus
difteri dan terus beranjak naik menjadi 342 kasus pada tahun 2010, 806 kasus
tahun 2011 dan puncaknya tahun 2012 mencapai 1192 kasus. Di Aceh, kasus difteri
juga meningkat, dari tahun 2012 ditemukan sebanyak 16 kasus dan 4 orang di
antaranya meninggal. Kasus difteri mencapai puncaknya di tahun 2017 ini, di
Aceh sudah tercatat ada 77 kasus dan Aceh menjadi peringkat pertama jumlah
kasus difteri terbanyak se Indonesia. Suatu “prestasi” yang menyedihkan.
PKBI (perkumpulan keluarga
Berencana Indonesia) Aceh dan Dinas Kesehatan Provinsi Aceh atas dukungan
UNICEF melakukan survei atas pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat
terhadap program imunisasi yang dikaitkan dengan Fatwa MPU No Nomor. 3
Tahun 2015 di Lima Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Aceh Timur,
Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Bireuen dan Pidie. Isi Fatwa MPU Aceh tersebut
menegaskan bahwa vaksin polio tetes tidaklah haram dan boleh digunakan oleh
umat Islam. Lima kabupaten yang dilakukan survey tersebut adalah wilayah dengan
angka cakupan imunisasi rendah. Dari survei didapatkan beberapa gambaran yaitu:
1). Masyarakat Masih Takut Dengan Efek Samping Imunisasi, 2).
Masih Adanya Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Dan Petugas Kesehatan Yang Memprovokasi Untuk Tidak
Melakukan Imunisasi, 3). Lemahnya informasi yang didapatkan, 4). Masih
rendahnya Sumber Daya Manusia dan Fasilitas Kesehatan, serta 5). Berkembang Isu Vaksin haram yang Mengandung Enzim Babi.
Isu tentang adanya
kandungan enzim babi dalam vaksin lebih mendominasi alasan penolakan tersebut. Bagaimana
pendapat ulama tentang hal ini? Sampai saat ini tidak pernah terdengar ada
ulama di negara muslim yang melarang imunisasi kepada bayi dan anak di
negaranya. Contohnya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti besar Arab Saudi
membolehkan vaksinasi. Beliau mengatakan tidak mengapa berobat dengan cara
seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit dan tidak masalah menggunakan
obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. DR. Yusuf
Qardhawi yang berdomisili di Qatar juga membolehkan imunisasi. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) berdasarkan Fatwa MUI no. 04 tahun 2016 tentang imunisasi
menyebutkan bahwa: 1). Imunisasi paa dasarnya dibolehkan sebagai bentuk ikhtiar
untuk mewujudkan kekebalan tubuh dan mencegah suatu penyakit tertentu, 2). Vaksin
untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci, 3). Penggunaan
vaksin imunisasi yang berbahan haram dan atau najis hukumnya haram, 4).
Imunisasi dengan vaksin haram/dan atau najis tidak dibolehkan kecuali digunakan
pada kondisi darurat, belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci dan
adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada
vaksin yang halal, 5). Dalam hal jika seorang yang tidak diimunisasi akan
menyebabkan kematian, penyakit berat atau kecacatan permanen yang mengancam
jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya maka imunisasi
hukumnya wajib, 6). Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan
pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya menimbulkan dampak yang
membahayakan.
Untuk vaksin MR yang baru beredar
ini sama sekali tidak mengandung unsur babi atau yang diharamkan. Bahkan dari
sekian program wajib vaksin pemerintah hanya vaksin OPV saja yang memakai enzim
babi sebagai katalisator (enzim ini tidak ada dalam hasil akhir reaksi). Berkaitan
hal tersebut berdasarkan fiqih ada istilah istihlak (zat terlarut dalam pelarut
berjumlah besar sehingga sifat najis/haramnya menjadi hilang), istihalah
(perubahan bentuk dari satu zat menjadi zat lain sehingga tidak sama dengan
barang haram/najis sebelumnya). Hal tersebut berdasarkan Hadist Rasulullah,”
Jika air telah mencapai dua kullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran
(najis)." (HR. Daruquthni, Darimi, Hakim dan Baihaqi).
Jadi penggunaan enzim babi hanya
pada satu jenis vaksin dan itupun tidak ditemukan lagi pada hasil akhirnya akan
tetapi informasi yang menyebar adalah seolah olah semua vaksin mengandung unsur
babi. Informasi yang tidak benar tersebut harus kita luruskan bersama.
Untuk pertanyaan yang menanyakan
bagaimana bila sertifikat halalnya yang belum ada apakah itu haram? Dalam
masalah duniawi baik berupa makanan atau obat obatan dan masalah hukum asalnya
halal, kaidah mengatakan bahwa hukum asal sesuatu adalah mubah sampai ada dalil
yang melarangnya. Jadi tidak ada sertifikat halal MUI belum tentu otomatis
haram. Jadi para Ibu/Bapak supaya tidak pernah ragu untuk memberikan imunisasi
kepada bayi dan anaknya. Itu merupakan usaha ikhtiar kita para tua dalam upaya
mencegah penyakit yang akan menyerang. Bila mencari informasi tambahan tentang
vaksin dan berbagai hal seputar imunisasi sebaiknya dari sumber yang terpercaya
dan bukan sumber hoax lama yang kembali dihembus di saat ada program kampanye
vaksin baru. Dan bila para orang tua tetap memutuskan tidak mengimunisasi
anaknya semua berpulang keputusan para orangtua akan tetapi dihimbau sebaiknya
keputusan tersebut untuk diri dan keluarga saja tidak ikut serta mengajak orang
lain menolak vaksin. Demikian semoga bisa dipahami!!
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia http://aceh.tribunnews.com/2017/11/04/ini-tantangan-program-imunisasi-di-aceh
*dr. Aslinar, SpA, M. Biomed
Pengurus IDAI Aceh & IDI Aceh Besar
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas
Abulyatama
Tidak ada komentar:
Write komentar