Konflik
berkepanjangan yang terjadi di Myanmar, telah membuat banyak kesedihan yang
mendalam. Berbagai penderitaan yang dialami warga Rohingya membuat mereka harus
lari (terusir) dari negaranya sendiri. Sebagian besar mereka mengungsi ke
negara tetangganya yaitu Bangladesh. Untuk saat ini jumlah total seluruh
pengungsi Rohingya yang berada di Bangladesh adalah 1,2 juta jiwa. Sungguh
jumlah yang sangat luar biasa. Lokasi pengungsi tinggal adalah Cox’s bazar,
salah satu kabupaten di Provinsi Chittagong, Bangladesh.
Bangladesh
merupakan negara dengan jumlah penduduk sekitar 159 juta, adalah negara dengan
populasi terpadat dan termasuk negara miskin di dunia. Negara ini masuk dalam
sepuluh besar negara di dunia dengan penduduk terbanyak (menempati urutan ke-8).
Mayoritas penduduknya adalah Muslim yaitu sekitar 88% dan selebihnya yaitu
agama Kristen, Hindu dan Budha. Bahasa resminya adalah Bangla dan mata uangnya
yaitu Taka. Nila mata uang Taka yaitu berkisar 160 rupiah per 1 Taka (atau 83
Taka setiap 1 US Dolar).
Sejak
bulan September, IHA (Indonesian Humanitarian Alliance/Aliansi Kemanusiaan
Indonesia) sudah mengirimkan relawan ke Kamp Pengungsian Rohingya di
Bangladesh. Direncanakan tahap awal program IHA di Bangladesh ini akan
dilaksanakan selama 6 bulan dan sangat mungkin diperpanjang. IHA merupakan gabungan
dari beberapa lembaga kemanusiaan yaitu MuhammadiyahAid yang didukung oleh
LazisMu, Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Darut Tauhid, PKPU, Nadhdatul Ulama, Lazis
Wahdah, dan Laznas LMI, yang mendapat dukungan dari Kementerian luar Negeri
Indonesia. Aliansi ini bertujuan mengoptimalkan fungsi pemberian bantuan
layanan kemanusiaan. Untuk di Bangladesh, IHA berfokus pada kegiatan pemenuhan
layanan korban terdampak konflik Myanmar. Program pelayanan kesehatan yang
diberikan berupa pemeriksaan kesehatan, pemberian nutrisi tambahan juga edukasi
kesehatan berupa cara mencuci tangan, menggosok gigi dan berbagai ilmu praktis
lainnya di lapangan. Untuk program kesehatan dikoordinatori oleh tim Medis dari
MuhammadiyahAid. Saya sendiri merupakan tim Medis MuhammadiyahAid yang berada
di tim 9 dengan masa pelayanan selama 15 hari yaitu 9 sampai 24 Januari 2018.
Tim
9 ini terdiri dari 7 orang yaitu 3 orang dari MuhammadiyahAid, 2 orang dari
Dompet Dhuafa, 1 orang dari Nahdatul Ulama (NU) dan 1 orang dari Darut Tauhid. Setelah
menempuh perjalanan selama 11 jam Alhamdulillah akhirnya kami sampai di Cox’s
Bazar. Berangkat subuh dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta dengan pesawat
Malindo Air ke Kuala Lumpur yang ditempuh dengan waktu 2 jam. Di Kuala Lumpur
transit sekitar 1 jam dan kemudian melanjutkan
penerbangan kembali dengan Malindo Air menuju Dhaka Bangladesh yang
memakan waktu 4 jam. Sesampai di Dhaka langsung menuju ke counter imigrasi dan
check in menuju ke wilayah yang kami tuju yaitu Cox’s Bazar. Bandara di Dhaka
bernama Hazrat Shahjalal International Airport. Bandara ini sangat padat dan
kurang tertata dengan rapi dengan pelayanan yang diberikan di bawah standar.
Selanjutnya kami menuju ke dalam pesawat. Pesawat yang kami tumpangi bernama
Novo Air merupakan pesawat kecil dengan kapasitas penumpang sekitar 70 orang. Perjalanan ditempuh selama 1 jam.
Yang uniknya di bandara ini, barang bagasi
mesti kita ambil masing masing begitu diturunkan dari pesawat jadi tidak
melewati tempat pengambilan bagasi layaknya bandara bandara biasanya.
Dari
bandara ini kamipun menumpang kendaraan seperti bajaj kalau di Indonesia.
Namanya Tom Tom yang berisikan 4 – 5 penumpang. Naik kendaraan di Bangladesh
ini harus kuat mental, karena supir yang membawanya bisa cepat sekali dan
kurang beraturan. Dan hal ini terlihat sama di seluruh kota Cox’s Bazar. Lalu
lintas yang semrawut ditambah dengan bunyi klakson semua kendaraan terus
menerus. Bahkan di penginapan kami yang memang terletak di dekat jalan raya,
sama sekali tidak pernah absen suara klakson kendaraan bahkan sampai tengah
malam.
Setelah
istirahat satu malam, keesokan harinya kami memulai aktivitas di kamp
pengungsian. Kamp ini berada sekitar 1,5 jam perjalanan dari lokasi penginapan.
Lokasi pelayanan tim medis IHA adalah Kamp Jamtoli yang dihuni oleh lebih 50
ribu pengungsi. Dari 50 ribu jumlah pengungsi, sebanyak 60% di antaranya adalah
anak anak. Jenis penyakit yang saat ini diderita para pengungsi adalah infeksi
saluran nafas, diare, masalah perut dan juga kulit. Dan saat ini di kamp pengungsian
sedang terjangkit wabah penyakit difteri. Pada saat pendaftaran serta triase,
pasien yang dicurigai dengan difteri maka akan dimasukkan langsung ke ruang
terpisah dari pasien lain. Selanjutnya dokter akan memeriksa untuk memastikan
diagnosisnya. Apabila memang betul terdiagnosis sebagai difteri maka pasien
tersebut akan dirujuk ke RS Lapangan yang ada di lokasi kamp.
Sesuai
profesi saya sebagai dokter spesialis anak, maka pasien yang saya layani khusus
pasien anak saja. Berkaitan dengan kondisi pengungsian yang padat juga perilaku
serta kebersihan diri dan lingkungan yang masih sangat kurang, berbagai
penyakitpun menyerang mereka. Sambil memeriksa pasien dimana saya didampingi
oleh seorang penerjemah yang bisa berbahasa Rohingya, sayapun menanyakan
bagaimana kisah mereka bisa sampai ke pengungsian ini. Mendengar bagaimana
penyiksaan yang dialami di Myanmar, keluarga terdekat dibunuh, dibakar hidup
hidup dan juga ditembak, rasanya perih sekali rasa yang berkecamuk di dada.
Semoga Allah memberikan kekuatan buat mereka semua muslim Rohingya. Tersiksa di
dunia, surga menanti mereka.
(dr.
Aslinar, SpA. Tim Medis MuhammadiyahAid, melaporkan
dari Kamp Pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar Bangladesh).
Tidak ada komentar:
Write komentar