Sebagaimana
sudah kita ketahui bahwa menyusui sangat banyak bermanfaat baik bagi si bayi
maupun si Ibu. ASI mengandung zat zat gizi yang lengkap, mudah dicerna, diserap
secara efisien. ASI mengandung semua nutrisi penting yang diperlukan bayi untuk
tumbuh kembangnya, disamping itu juga mengandung antibodi yang akan membantu
bayi membangun sistem kekebalan tubuh dalam masa pertumbuhannya. ASI melindungi
terhadap infeksi, melindungi kesehatan ibu, membantu bonding dan menunda
kehamilan yang baru. Menyusui membantu ibu dan bayi membentuk hubungan yang
erat dan penuh kasih sayang yang membuat ibu merasa puas secara emosional.
Kontak kulit antara ibu dan bayi segera setelah persalinan membantu
mengembangkan hubungan tersebut. Proses ini yang disebut dengan bonding.
Akan
tetapi terdapat beberapa kondisi dimana seorang Ibu tidak bisa menyusui
bayinya. Hal tersebut bisa berkaitan dengan kondisi kesehatan Ibu yang sedang
menderita sakit berat setelah melahirkan seperti kondisi Ibu yang harus dirawat
di ruang ICU, Ibu yang mengalami penurunan kesadaran ataupun Ibu dengan kondisi
penyakit yang tidak memungkinkan untuk menyusui bayinya seperti Ibu yang
menderita HIV yang memutuskan tidak memberikan ASInya (walaupun sudah ada
rekomendasi WHO 2016 bahwa Ibu dengan penderita HIV boleh menyusui bayinya
sejauh si Ibu mengkonsumsi obat antiretroviral, akan tetapi semua keputusan
terserah pada si Ibu), kemudian Ibu dengan kondisi menderita Hepatitis B dimana
tidak bisa didapatkan Imunoglobulin Hepatitis B maupun kondisi penyakit lain
seperti si Ibu menderita cacar air (varisella) di saat beberapa hari sebelum,
sedang dan setelah melahirkan.
Untuk
kondisi demikian sangat diharapkan si bayi tetap mendapatkan asupan zat gizi
hebat berupa ASI. Adapun hirarki dalam pemberian makanan/minuman bayi baru
lahir yaitu: 1). ASI melalui menyusu langsung, 2). ASI perah, 3). Donor ASI dan
urutan terakhir 4). Susu Formula (Sufor). Susu formula adalah pilihan terakhir
untuk kondisi bila ASI tidak ada karena hal hal yang sudah disebutkan
sebelumnya.
Lalu
bagaimana dengan hirarki ketiga tentang pemberian donor ASI? Apakah
direkomendasikan secara medis dan apakah dibenarkan secara syariat? Perlu
banyak pertimbangan mengenai hal ini baik itu dari segi kesehatan dan juga
syariat tentunya. Di masyarakat saat ini
masih banyak berkembang tentang kontroversi tentang Donor ASI.
Untuk
di kota kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta dan kota besar lainnya sudah
banyak komunitas yang bergerak dalam hal donor ASI. Begitu mendapat kabar
tentang adanya bayi yang butuh ASI maka mereka akan bergerilya untuk memenuhi
permintaan ASI donor tersebut. Berita bisa disebar melalui media sosial baik
Facebook, Instagram, Grup Whatsapp dan dari mulut ke mulut. Akan tetapi hal
yang demikian juga banyak mendapat pertentangan di masyarakat. Banyak yang
tidak setuju dengan hal demikian karena berkaitan dengan hubungan sepersusuan karena
proses donor ASI tersebut dan juga karena alasan berupa tidak bersedia ada air
susu Ibu yang lain yang diberikan kepada bayinya.
Donor ASI dari Segi Kesehatan
Dari
segi kesehatan, untuk melakukan donor ASI harus dilakukan beberapa tahap
skrining (penapisan). Skrining tahap 1 itu yaitu dengan ketentuan Ibu yang mau
mendonorkan ASI memiliki bayi berusia kurang dari 6 bulan, sehat dan tidak
mempunyai kontraindikasi menyusui, produksi ASI sudah memenuhi kebutuhan
bayinya & memutuskan mendonasi ASI atas dasar produksi yang berlebihan,
tidak menerima transfusi darah dan transplantasi organ dalam 12 bulan terakhir,
tidak mengkonsumsi obat seperti insulin, hormon tiroid, tidak ada riwayat
menderita penyakit menular seperti Hepatitis, HIV, dan tidak memiliki pasangan
seksual yang berisiko terinfeksi penyakit tersebut. Skrining tahap 2 yaitu
berupa pendonor ASI harus menjalani skrining HIV, Human T-lymphotropic (HTLV),
sifilis, hepatitis, dan CMV (sitomegalovirus). Bila ragu terhadap status
pendonor, skrining bisa dilakukan setiap 3 bulan, dan setelah tahap ini ASI
harus diyakini bebas dari kuman (virus atau bakteri) melalui proses
pasteurisasi. Proses pasteurisasi bisa dilakukan melalui dua cara yaitu
pretoria (merendam dalam air mendidih) dan cara flash heating (memanaskan ASI
dalam wadah sampai air mendidih).
Selain
berbagai tahap skrining terhadap pendonor dan ASI donor, mutu dan keamanan ASI
harus dipastikan terjamin. Calon pendonor ASI harus mendapat pelatihan tentang
kebersihan, cara memerah dan menyimpan ASI.
Harus mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun sebelum memerah,
memerah ASI di tempat yang bersih bisa dengan tangan atau dengan pompa yang
mudah dibersihkan serta menyimpan ASI dalam tempat tertutup.
Fatwa MUI tentang Donor ASI
Berdasarkan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 28 tahun 2013 tentang Seputar Masalah
Donor Air Susu Ibu (Istirdla’). Bahwa ketentuan hukum berupa: 1). Seorang ibu
boleh memberikan ASI kepada anak yang bukan anak kandungnya. Demikian juga
sebaliknya, seorang anak boleh menerima ASI dari Ibu yang bukan Ibu kandungnya
sepanjang memenuhi ketentuan syar’i. 2).
Kebolehan memberikan dan menerima ASI harus memenuhi ketentuan yaitu Ibu yang
memberikan ASI harus sehat, baik fisik maupun mental, dan Ibu tidak sedang
hamil. 3). Pemberian ASI menyebabkan terjadinya mahram (haramnya terjadi pernikahan)
akibat radla’ (sepersusuan), 4). Mahram akibat sepersusuan dibagi dalam 8
kelompok yaitu Ibu susuan dan Ibu dari Ibu susuan terus ke atas (nenek, buyut),
anak susuan itu sendiri dan anak dari anak susuan tersebut terus ke bawah
(cucu, cicit), anak anak dari ibu susuan kemudian anak anak dari anak anak ibu
susuan terus ke bawah (cucu, cicit), Bibi sesusuan yang merupakan saudara kandung
dari suami ibu donor ASI dan Bibi sesusuan yang merupakan saudara kandung Ibu
donor ASI, Ibu susuan dari istri kemudian ibu dari ibu susuan dari istri sampai
ke atas (nenek moyang), Istri dari suami
Ibu pendonor ASI (istri kedua, ketiga, keempat dari suami Ibu pendonor)
kemudian Istri dari Bapak dari suami Ibu pendonor ASI sampai ke atas (istri
kedua, ketiga, keempat dari Bapak suami Ibu pendonor ASI sampai ke kakek
moyangnya, Istri dari anak susuan kemudian istri dari cucu susuan dan
seterusnya ke bawah juga istri dari anak laki laki dari anak perempuan sesusuan
sampai seterusnya ke bawah, serta anak perempuan susuan dari Istri dan anak
perempuan dari anak laki lakinya anak perempuan susuan istri sampai seterusnya
ke bawah.
Terjadinya
mahram akibat sepersusuan jika usia anak yang menerima donor ASI maksimal usia
2 tahun, ibu pendonor ASI diketahui identitasnya secara jelas, jumlah ASI yang
dikonsumsi sebanyak minimal 5x sepersusuan dengan cara penyusuan langsung
maupun ASI perah serta ASI yang dikonsumsi tersebut mengenyangkan si bayi. Hal
lain yang diatur dalam Fatwa tersebut adalah bahwa seorang muslimah boleh
memberikan ASI kepada bayi non muslim karena dibutuhkan dan ini merupakan
bagian dari kebaikan antar umat manusia. Serta pemberian donor ASI ini boleh
menerima imbalan jasa asalkan jangan diperjualbelikan atau dikomersialkan.
Dari
berbagai hal yang telah dikupas tentang boleh tidaknya donor ASI dari segi
kesehatan dan syariat, dan dibandingkan dengan begitu besar manfaat dari ASI,
semua keputusan berpulang kepada keluarga si bayi penerima donor ASI dan juga
tentu saja atas kerelaan Ibu pendonor ASI untuk menjalani berbagai skrining dan
pemeriksaan. Donor ASI harus disikapi dengan bijak agar memberikan manfaat dan
bukan merugikan pendonor dan juga bayi yang menerima. Karena beberapa penyakit
bisa ditularkan melalui ASI. Di sini harus terlibat juga Pemerintah untuk
pelaksanaan dan pengawasan donor ASI. Dan untuk Aceh sendiri sebagai daerah
syariat Islam, sebaiknya segera mengeluarkan aturan hukum yang mengatur
regulasi perihal donor ASI, apakah itu berupa Qanun ataupun Fatwa dari Majelis
Permusyawaratan Ulama Aceh (MPU).
Tidak ada komentar:
Write komentar