Tanggal
9 Januari merupakan waktu yang saya tunggu tunggu karena di hari tersebut
merupakan hari keberangkatan kami, Tim 9 IHA ke Cox’s Bazar, Bangladesh.
Sebenarnya saya sudah dijadwalkan berangkat pada tanggal 17 November 2017 akan
tetapi batal karena berkaitan dengan pengurusan visa yang belum selesai. Tim
IHA (Indonesian Humanitarian Alliance) merupakan gabungan dari berbagai lembaga
yaitu MuhammadiyahAid, Dompet Dhuafa, Darut Tauhid, Nahdatul Ulama, PKPU, Lazis
Wahdah, dan Laznas LMI, yang mendapat dukungan dari Kementerian luar Negeri
Indonesia. Aliansi ini bertujuan mengoptimalkan fungsi pemberian bantuan
layanan kemanusiaan. Untuk di Bangladesh, IHA berfokus pada kegiatan pemenuhan
layanan korban terdampak konflik Myanmar. Untuk bidang kesehatan diketuai oleh
seorang dokter yang berasal dari MuhammadiyahAid.
Cox’s bazar, merupakan salah satu
kabupaten di Provinsi Chittagong, Bangladesh. Berangkat menuju Cox’s Bazar
membutuhkan waktu lebih kurang 12 jam. Tidak ada pesawat dari Jakarta yang langsung menuju
Bandara Hazrat Shahjalal International Airport di Dhaka Bangladesh, akan tetapi
harus transit dulu di Kuala Lumpur. Setelah sampai di Dhaka, juga harus naik
pesawat lagi ke Cox’s Bazar yang membutuhkan waktu 1 jam.
Perjalanan kami dari penginapan
setiap harinya membutuhkan waktu 1,5 jam kemudian berjalan kaki dengan jalanan
yang mendaki dan juga menurun lebih kurang 500 meter jaraknya untuk mencapai
IHA Medical Centre, pusat klinik kesehatan punyanya IHA, Indonesia. Di klinik
ini kita hanya melayani pengobatan rawat jalan saja. Apabila ada pasien yang
membutuhkan rawat inap maka akan kita rujuk ke Rumah Sakit lapangan yang
berdekatan letaknya dengan klinik IHA. Pelayanan rawat jalan ini lebih kurang 5
jam setiap harinya dengan jumlah pasien berkisar 100 – 200 orang setiap
harinya. Sebanyak 50-60% pasiennya adalah anak anak. IHA Medical Centre ini
terletak di Kamp Jamtoli yang dihuni oleh sekitar 50 ribu pengungsi. Penyakit
yang paling banyak diderita oleh para pengungsi adalah infeksi saluran nafas,
diare, dan masalah kulit. Wabah difteria juga sedang menyerang para pengungsi
ini. Sudah dilakukan berbagai upaya dalam mengatasi penyebaran wabah termasuk
sudah dilakukan vaksinasi difteri kepada semua pengungsi.
Sambil memeriksa pasien dimana saya
didampingi oleh seorang penerjemah yang bisa berbahasa Rohingya, sayapun
menanyakan bagaimana kisah mereka bisa sampai ke pengungsian ini. Mereka semua
lari (terusir) dari negaranya sendiri. Banyak dari keluarga mereka yang
dibunuh, ditembak ataupun dibakar. Mereka terpaksa harus keluar dari tanah
kelahirannya. Dengan melewati pegunungan yang berat medannya juga kemudian
harus mengarungi lautan dengan menggunakan perahu. Ada juga sebagian yang
meninggal dalam pelariannya, ada yang sedang hamil besar dan ada juga yang
melahirkan di perjalanan tersebut. Sejak bulan Agustus gelombang pengungsian
terus berdatangan ke Cox’s Bazar Bangladesh dan saat ini jumlahnya sudah mencapai
1,2 juta orang pengungsi.
Selain pelayanan kesehatan kepada
warga pengungsi, kami tim IHA juga memberikan penyuluhan kesehatan berupa
bagaimana mencuci tangan, mengosok gigi yang benar dan juga penyuluhan
kesehatan lainnya berupa anjuran mandi serta tidak meludah sembarangan, tidak
membuang sampah sembarangan. Mereka (anak anak) yang berada di sekitar klinik,
setiap hari juga belajar berhitung, membaca dan pengetahuan umum lain yang
diajarkan oleh relawan lokal.
Selain itu tepat di samping IHA Medical
Centre terletak sebuah mesjid yang biasanya dipakai oleh para pengungsi untuk
sholat Jumat dan juga sholat berjamaah setiap hari. Ada dua orang imam yang
bergantian di mesjid ini. Mesjid ini terbuat dari bambu dan beratapkan terpal.
Setiap hari setelah zuhur, diadakan pengajian yang diikuti oleh semua anak
anak. Pengajian yang dimaksud adalah pengajian AL Quran yaitu dengan membaca
secara bersamaan dan kemudian diarahkan oleh sang guru yang sekaligus merupakan
imam di mesjid tersebut. Jadi walaupun mereka berada di pengungsian,
Alhamdulillah kewajiban sebagai muslim/muslimah tetap mereka lakukan. Kita
doakan mereka semua bisa istiqomah dalam Islam, bisa menjalankan setiap rukun
Islam dengan aman dan nyaman dan tentu saja suatu hari bisa kembali ke
negaranya yang merupakan tanah kelahiran mereka. Beribadah dengan bebas, hidup
dengan nyaman tanpa gangguan dari pihak lain seperti yang selama ini mereka
alami.
dr. Aslinar, SpA, M. Biomed
Relawan Medis MuhammadiyahAid,
Ketua Lembaga Lingkungan Hidup &
Penanggulangan Bencana PW Aisyiyah Aceh
Tidak ada komentar:
Write komentar