Sejak
awal tahun 2017 penyakit difteri kembali mewabah. Sepanjang tahun tersebut
ditemukan hampir 100 kasus di Aceh dan masih terus terjadi sampai sekarang. Di
bulan Januari 2018 ini saja sudah ditemukan 31 kasus difteri. Tentu ini
merupakan hal yang sangat mengerikan bagi kita semua karena berkaitan dengan
sifat penularan difteri yang sangat cepat juga pengobatan yang lama butuh
isolasi serta komplikasi yang disebabkannya bahkan bisa berakhir dengan
kematian.
Selama
ini Dinas Kesehatan, para dokter umum, dokter spesialis anak juga berbagai
organisasi terkait baik itu Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) maupun Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) turut aktif berperan memberikan pencerahan kepada
masyarakat tentang penyakit difteri tersebut. Bahkan sosialisasi di berbagai
media sosial juga berlanjut. Hampir sebagian besar masyarakat menjadi tahu apa
itu difteri, bagaimana mencegahnya dan apa saja tanda serta gejalanya.
Kepanikan juga mulai terasa (terjadi). Yang sebelumnya banyak para orang tua
yang tidak mengimunisasi anaknya karena ragu (akibat berbagai isu yang tidak
bertanggung jawab) atau tidak sempat karena kesibukan, akhirnya membawa anaknya
untuk imunisasi.
Kondisi
ini tentu menjadi kabar baik bagi dunia kesehatan dengan bertambahnya angka
cakupan imunisasi khususnya DPT. Akan tetapi tetap saja (lagi lagi) ada kelompok
yang tetap menolak dengan ngotot untuk mengimunisasi anaknya dengan membawa
alasan bahwa sakit itu sudah takdir jadi tidak perlu pencegahan dengan vaksin
cukup berikan ASI, madu, herbal atau air
nenas saja. Atau tetap dengan menghembuskan isu haramnya kandungan vaksin
walaupun para ahli sudah dengan berbuih membeberkan isi kandungan vaksin yang
bersih dari yang dituduhkan. Dan yang lebih parah lagi ada antivaks yang
menyebarkan isu tentang “proyek vaksin”. Bahwa penyakit difteri tersebut
sengaja dihembuskan isunya supaya vaksin laku keras. Sungguh tuduhan yang penuh
fitnah. Mau bukti apalagi kalau difteri itu memang terjadi, sudah banyak korban
yang berjatuhan karena penyakit difteri ini. Apa harus mengenai keluarga kita
sendiri baru kita akan sadar tentang pentingnya vaksin tersebut? Sangat berat
memang berhadapan dengan mereka ini, istilahnya kalau sudah kadung benci,
apapun alasan tidak akan diterima, selalu mencari pembenaran diri.
Kehadiran
para antivaksin tersebut tidak pernah menyurutkan langkah kami para praktisi
kesehatan untuk terus mengedukasi. Karena sejatinya edukasi adalah tugas kita
semua.
Penyakit
Difteri sangat menular, disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.
Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian yang disebabkan
oleh obstruksi (sumbatan) laring atau karena miokarditis (komplikasi pada
jantung). Bakteri penyebab penyakit ini mengeluarkan toksin (racun) yang bisa
menyebabkan pembengkakan tonsil (amandel) hingga menutup jalan nafas. Toksin
yang dihasilkan tersebut juga bisa menyebar ke organ tubuh lain seperti jantung
(miokarditis), sistem saraf (neuritis) dan ginjal (glomerulonefritis).
Difteria ditularkan melalui kontak
dengan pasien atau melalui droplet (percikan) ketika batuk, bersin atau saat
berbicara. Muntahan atau pun debu juga bisa merupakan media penularannya. Kuman
yang terpercik akan masuk ke mukosa di sekitar mulut kemudian akan melekat
serta berkembang biak di bagian permukaan mukosa saluran pernafasan bagian atas
dan mulai menghasilkan toksin yang akan disebarkan ke sekelilingnya.
Selanjutnya akan dibawa ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Berat ringannya
gejala yang timbul sangat bervariasi dari tanpa gejala sampai yang berat bahkan
fatal akibatnya. Faktor yang berperan adalah sistem imunitas orang yang
diserang, virulensi dan kemampuan kuman membentuk toksin. Faktor yang lain
adalah usia, penyakit yang sedang diderita, dan penyakit yang ada di lokasi
saluran nafas atas yang sudah ada sebelumnya. Masa tunas difteria (masa dimulai
dari saat infeksi sampai timbul gejala) berkisar 2-6 hari.
Mendiagnosis suatu difteri tentu
harus dilakukan oleh seorang dokter. Setelah ditemukan gejala berupa demam,
nyeri menelan, suara nafas berbunyi (stridor) dan terdapatnya selaput
(pseudomembran) bewarna putih keabuan di bagian tenggorokan (amandel/tonsil
atau di faring), maka dokter akan menentukan apakah itu suatu difteri atau
bukan. Anamnesis tetap perlu ditanyakan secara teliti termasuk juga riwayat
imunisasi. Dan ternyata ditemukan bahwa data Kemenkes sebanyak 66% kasus tidak
dimunisasi sama sekali, 31% dengan imunisasi tidak lengkap dan hanya 3% yang
diimunisasi. Untuk Aceh, menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, dari
kasus yang ditemukan, sebanyak 91 % tidak diimunisasi, 9 % imunisasi tidak
lengkap.
Apabila gejala dan tanda sudah
terpenuhi serta dari pemeriksaan fisik sudah sesuai maka diagnosis difteri bisa
ditegakkan. Penegakan diagnosis difteri ada beberapa, terbagi atas: 1). Suspected
Difteria dimana tidak ditemukan demam atau hanya demam subfebris (ringan),
gejala nyeri tenggorokan, sukar menelan, dan ada pseudomembran yang berdarah
bila dilepaskan. 2). Probable Difteria yaitu kasus dengan suspected difteria
disertai dengan adanya salah satu dari kriteria berikut yaitu kontak <2 3="" 4="" 6="" ada="" adanya="" atau="" bahkan="" bengkak="" berlangsung="" biakan="" bisa="" bulan.="" bullneck="" bunyi="" carrier="" confirmed="" corynebacterium="" dan="" dengan="" di="" diberikan="" difteri="" difteria="" diphteria="" disertai="" elek="" gagal="" ginjal="" hasil="" imunisasi="" ini="" jantung="" karena="" ke="" konfirmasi="" kulit="" kultur="" kuman="" laboratorium="" leher="" lengkap="" masa="" mengandung="" meninggal.="" menularkan="" minggu="" miokarditis="" nafas="" namun="" o:p="" pada="" pcr="" penderita="" pengobatan="" penularan="" perdarahan="" perlu="" positif="" probable="" riwayat="" s="" sakit="" sampai="" sekitar="" seseorang="" stridor="" tenggorokan="" test="" tetap="" tidak="" toksisitas.="" uji="" untuk="" yaitu="" yang="">2>
Pemeriksaan laboratorium yaitu
mengambil swab (apusan) dari selaput putih atau pseudomembran di tenggorokan.
Tindakan ini memerlukan keahlian khusus berupa tenaga kesehatan yang sudah
dilatih untuk mengerjakannya, didukung oleh peralatan dan alat laboratorium dan
juga reagen. Pemeriksaan ini tidak bisa dilakukan di Aceh, harus dikirim
sampelnya ke Pulau Jawa tepatnya di Jakarta. Hasilnya akan keluar dalam waktu lebih
kurang dua minggu.
Jadi apabila pasien datang dengan
curiga ke arah difteri (suspected) maka harus dirawat di RS dan diperlakukan
sebagai pasien difteri. Pengobatan tanpa dan tidak boleh menunggu hasil kultur
swab tenggoroknya. Penatalaksanaan yang diberikan bisa hanya berdasarkan
kecurigaan klinis dan pemeriksaan fisik, dikarenakan pertimbangan waktu yang
lama menunggu hasil kultur dan besarnya risiko bila tidak langsung diobati.
Sekalipun nantinya hasil kultur yang keluar adalah negatif, tatalaksana tetap
dilakukan asalkan kondisi klinis sesuai mengarah ke penyakit difteri.
Perawatan pasien difteri dilakukan
di ruang isolasi, dirawat selama 10-14 hari dengan pemberian ADS (Anti Difteria
Serum), obat yang sangat mahal dengan harga jutaan per botol (vial) akan tetapi
sekarang bisa didapatkan gratis oleh pasien. Kemudian pemberian suntikan
antibiotika Penisilin Prokain selama 10 hari yang disuntikkan di paha/bokong,
pengobatan suportif dan terapi terhadap komplikasi yang ditemukan. Dilanjutkan
dengan pemberian pengobatan terhadap keluarga atau siapapun yang kontak dengan
pasien difteri ini.
Jadi beginilah cara seorang dokter
anak mendiagnosis suatu penyakit difteri bukan dengan asal diagnosis akan
tetapi berdasarkan ilmu yang berbasis bukti ilmiah. Jadi tidak ada yang namanya
overdiagnosis difteri, walaupun nanti hasil kultur apusan tenggoroknya keluar hasil
negatif. Ini yang perlu dipahami oleh kita semua sehingga tidak ada anggota
keluarga yang merasa dikecewakan dengan tindakan pengobatan yang sudah diambil
oleh dokter.
Saat pasien dibolehkan pulang
artinya sudah bersih dari kuman yang ada di tenggorokannya dan tidak akan
menularkan lagi kepada siapapun di sekitar. Jadi kepada masyarakat supaya tidak
menjauhi pasien difteri yang sudah pulang ke rumah termasuk jangan mengucilkan
pasien dan keluarganya. Karena bila kita berada di posisi tersebut tentu kita
juga tidak mau diperlakukan demikian kan.. Tulisan ini ssudah dimuat di Harian Serambi Indonesia di link ini...
Tidak ada komentar:
Write komentar