Banyak
pihak yang mempertanyakan tentang kondisi darurat yang dimaksud. Mengapa Aceh
juga harus melaksanakan imunisasi MR ini? Apakah Aceh bisa dikatakan “darurat”
Campak dan Rubella? Namun, tulisan
ini tidak bermaksud mengulang jawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tetapi
lebih melihat pada perspektif ekonomi dari cost
yang dikeluarkan dari tingginya kasus MR tersebut.
Berdasarkan
data dari Kementerian Kesehatan, jumlah kasus secara klinis Campak dan Rubella di
Indonesia dari tahun 2014- 2017 yaitu 54.667 kasus. Data sampai bulan Juni tahun 2018 terdapat 2160 kasus. Sedangkan
berdasarkan pemeriksaan serologis positif untuk Campak adalah 8581 kasus dan
serologis positif untuk Rubella adalah 5005 kasus. Secara global, Indonesia
menduduki peringkat keenam pada tahun 2016 sebagai negara dengan penderita Campak
terbanyak di dunia setelah Mongolia, China, Congo, Nigeria dan India. Untuk
Indonesia, berdasarkan pemetaan daerah risiko campak tahun 2017, terdapat 56%
provinsi di Indonesia dengan kategori daerah
risiko sangat tinggi. Data Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak dan Rubella tahun
2018 terjadi di 17 provinsi termasuk di Aceh.
Nah
untuk Aceh bagaimana? Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Aceh untuk kasus
klinis penyakit Campak di tahun 2016 ditemukan 1588 kasus, pada tahun 2017 terdapat
1027 kasus, dan sampai bulan Juli 2018 sudah ditemukan sebanyak 1157 kasus.
Berdasarkan Case Based Measles
Surveilance (CBMS Percentage) Aceh tahun 2012-2017, ditemukan 221 kasus
Campak dan 176 kasus Rubella. Data tersebut dengan catatan: tidak semua kabupaten/kota melapor dan tidak semua sampel diperiksa
laboratorium.
Campak
dan Rubella merupakan penyakit yang sangat menular dan berbahaya. Untuk
penderita Campak bisa berkomplikasi menyebabkan radang paru, infeksi otak,
diare dehidrasi berat, infeksi telinga dan kematian. Sedangkan Rubella, efek kepada penderita
tidak terlalu berat dibandingkan dengan penderita campak, akan tetapi bila
Rubella menyerang Ibu Hamil maka bisa terjadi keguguran ataupun lahir anak
dengan kecacatan atau disebut dengan Sindrom Rubella Kongenital (SRK).
Kecacatan yang timbul ini bisa berupa penyakit jantung bawaan (bocor jantung),
kerusakan jaringan otak yang bisa menyebabkan kelumpuhan ataupun retardasi
mental, katarak kongenital (terdapat selaput putih di lensa mata), dan gangguan
pendengaran atau tuli. Sampai tahun 2017 terdapat 2767 kasus SRK di Indonesia
dan di Aceh sampai saat ini belum ada data jelas mengenai penderita SRK akan tetapi
kasus SRK sudah ditemukan dan ada di sekitar kita.
Perspektif Ekonomi
Campak Rubella
Seorang penderita Campak atau Rubella membutuhkan
rawatan di Rumah Sakit terutama dengan indikasi Campak dengan komplikasi ataupun Campak tanpa komplikasi
tapi dengan kondisi
sulit makan dan minum. Untuk seorang penderita Campak biaya yang dibutuhkan
(berdasarkan standar BPJS) yaitu Campak ringan tanpa komplikasi sebesar Rp
2.680.000,-/kasus, Campak dengan radang paru sebesar Rp 12.890.700,-/kasus,
Campak dengan radang otak yaitu sebesar Rp 11.719.300,-/kasus. Biaya tersebut
belum termasuk biaya hidup selama penderita dirawat juga biaya untuk keluarga
yang mendampingi. Termasuk juga selama rawatan, orang tua, baik Ayah atau Ibu tidak bisa bekerja mencari nafkah sebagaimana aktifitas sehari-hari
dalam memenuhi ekonomi rumah tangga.
Sedangkan untuk biaya pengobatan
Cacat karena penyakit Rubella (SRK), butuh biaya
yang sangat besar untuk alat bantu dengar (implan
kokhlea) di telinga (tidak ditanggung BPJS), hanya biaya operasi yang
ditanggung BPJS. Biaya operasi katarak kongenital, juga biaya yang dibutuhkan
untu perawatan cacat seumur hidup (terapi rehabilitasi berupa terapi wicara,
terapi jalan), biaya hidup selama perawatan (transport, makan) juga kerugian
yang ditimbulkan karena orang tua tidak bekerja.
Untuk 3 (tiga) tahun terakhir dari kasus Campak di
Aceh dengan asumsi rata-rata pengeluaran setiap kasus yang diklaim ke BPJS
sekitar sebesar Rp. 7,8 juta, maka total
cost yang dikeluarkan hampir mencapai Rp. 30 milyar. Angka ini belum
termasuk biaya yang harus dikeluarkan oleh keluarga pasien dengan rata-rata
durasi waktu 7 hari, baik untuk pasien rawatan tanpa komplikasi maupun dengan komplikasi
yang bisa menghabiskan biaya rata-rata 2 juta per keluarga. Artinya keluarga
pasien akan mengeluarkan biaya mencapai Rp. 4,7 milyar selama tiga tahun
tersebut, sehingga nilai ekonomi yang harus ditanggung akibat dari proses
pengobatan Campak dan Rubella totalnya mencapai 34 milyar.
Nilai ekonomi yang muncul dari data tersebut belum
termasuk biaya yang dikeluarkan dari kasus SRK yang secara nasional dalam lima
tahun terakhir berjumlah 2.767 kasus dengan biaya perawatan, operasi, terapi
dan lain-lain yang membutuhkan komponen biaya berupa Alat bantu dengar implant
sebesar 327 – Rp. 370 juta, Terapi wicara Rp. 74 juta, Katarak Rp. 22 juta, dan
Rehabilitasi sebesar Rp. 2,6 juta. Sehingga total biaya yang dikeluarkan oleh
pasien SRK per pasien adalah sebesar Rp. 619 juta. Bisa kita bayangkan,
Pemerintah harus merogoh kocek tidak kurang dari Rp 1,7 triliun untuk melakukan
pengobatan dan rehabilitasi khusus untuk penderita SRK, belum lagi ditambah
dengan kasus kasus penyakit yang mewabah yang dikarenakan rendahnya cakupan
imunisasi misalnya seperti difteri yang sejak tahun 2017 menjadi masalah di
Aceh bahkan sampai sekarang.
Untuk Aceh, hingga saat ini kasus SRK tidak bisa
dihitung karena penulis belum mendapatkan informasi dan data riil mengenai
jumlah penderita SRK. Tapi yang jelas kasusnya ada. Dengan asumsi besaran biaya pada kasus SRK di
atas, sekalipun terpapar salah satu saja kelainannya, masih sangat tinggi bagi
Aceh untuk dijadikan beban biaya di tengah-tengah ekonomi Aceh yang hingga saat
ini masih tumbuh lambat dan terkesan tidak menggeliat.
Informasi di atas menunjukkan betapa besar biaya yang harus
dikeluarkan oleh pemerintah dan pihak pasien. Dan sejatinya, semua biaya
tersebut dapat dihindari melalui tindakan preventif berupa pemberian imunisasi
MR kepada seluruh anak-anak yang ditargetkan. Biaya pengadaan vaksin tersebut,
jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk
pengobatan dan rehabilitasi. Selain itu, pemerintah dapat mengalokasikan biaya
tersebut untuk kebutuhan lain, dari pihak pasien (masyarakat) juga bisa
menambah tabungan untuk menjaga keseimbangan ekonomi keluarga.
Tidak terlaksananya program Imunisasi MR ini tentu
saja berdampak pada tidak tercapainya target cakupan imunisasi sebesar 95%, dan
juga akan mengukuhkan kecemasan kita karena kemungkinan mewabahnya kembali
penyakit Campak dan Rubella serta meningkatnya angka kejadian SRK di kemudian
hari. Disamping itu, tentu saja berpengaruh terhadap besaran nilai ekonomi dari
biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Menjelang garis finish dana otsus, Aceh
harus mulai serius memikirkan efisiensi hingga ke depan kita tidak terjebak
pada frasa “darurat ekonomi”.
Tidak ada komentar:
Write komentar