Tapi
kemudian mulai sepi pemberitaan. Apakah kasusnya sudah menurun atau malah tidak
ada? Nol besar jawabannya.. Kasus difteri masih terus terjadi dan malah
menunjukkan peningkatan. Dan masih saja ada masyarakat yang tidak paham apakah
itu difteri. Kembali enggan membawa anaknya imunisasi dengan berbagai alasan. Baru
mulai “ngeh” bila sudah mengenai anggota keluarga sendiri. Apakah mesti jatuh
korban dulu di keluarga kita baru akan kita mau membawa anak anak imunisasi?
Difteri
merupakan penyakit yang sangat menular. Penyakit ini disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphteriae. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan kematian yang disebabkan oleh obstruksi (sumbatan) laring atau
karena miokarditis (komplikasi pada jantung). Bakteri penyebab akan
mengeluarkan toksin (racun) yang bisa menyebabkan pembengkakan tonsil (amandel)
hingga menutup jalan nafas. Toksin yang dihasilkan tersebut juga bisa menyebar
ke organ tubuh lain seperti jantung (miokarditis), sistem saraf (neuritis) dan
ginjal (glomerulonefritis).
Penyakit
difteria bisa menular melalui kontak dengan pasien atau melalui droplet
(percikan) ketika batuk, bersin atau saat berbicara. Muntahan atau pun debu
juga bisa merupakan wahana penularan penyakit ini. Kuman yang terpercik akan
masuk ke mukosa di sekitar mulut kemudian akan melekat serta berkembang biak di
bagian permukaan mukosa saluran pernafasan bagian atas dan mulai menghasilkan
toksin yang akan disebarkan ke sekelilingnya dan akan dibawa ke seluruh tubuh
melalui aliran darah. Berat ringannya gejala yang timbul sangat bervariasi dari
tanpa gejala sampai yang berat bahkan fatal akibatnya. Faktor yang berperan adalah
sistem imunitas orang yang diserang, virulensi dan kemampuan kuman membentuk
toksin. Faktor yang lain adalah usia, penyakit yang sedang diderita, dan
penyakit yang ada di lokasi saluran nafas atas yang sudah ada sebelumnya. Masa
tunas difteria (masa dimulai dari saat infeksi sampai timbul gejala) berkisar
2-6 hari dan biasanya pasien baru dibawa berobat setelah beberapa hari
menderita demam.
Proteksi
atau perlindungan supaya terhindar dari penyakit difteri adalah harus mempunyai
imunitas terhadap kuman tersebut. Imunitas tersebut hanya bisa didapat dari
vaksin DPT. Vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) merupakan imunisasi rutin
yang diberikan masing masing pada usia 2, 3, 4, 18 bulan. Kemudian dilanjutkan
pemberian booster (dosis penguat) pada saat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) yaitu
vaksin DT dan pemberian vaksin Td untuk anak kelas 2 dan 5 SD. Pemberian
imunisasi pada anak sekolah ini disebut dengan kegiatan BIAS (Bulan Imunisasi
Anak Sekolah). Jadi dibutuhkan sebanyak 7 dosis vaksin tersebut untuk bisa
memberikan perlindungan terhadap serangan kuman penyebab difteri ini. Program
imunisasi tersebut sudah lama dijalankan oleh kementerian Kesehatan dan sudah
menjadi program imunisasi rutin nasional.
Berbagai
faktor yang menyebabkan makin turunnya angka cakupan imunisasi tersebut dan
menjadi tantangan bagi program imunisasi di Aceh adalah karena adanya penolakan
dari masyarakat. Baik disebabkan karena ketakutan akan efek demam yang timbul
pasca imunisasi ataupun efek lain yang dikhawatirkan terjadi, para orang tua
yang tidak membawa anaknya imunisasi karena sedang sakit di saat jadwal
imunisasinya tiba, kemudian terlupa sehingga akhirnya tanpa imunisasi sama
sekali. Juga berbagai info yang tidak
bertanggung jawab sudah banyak menyebar ke masyarakat baik itu melalui media
sosial ataupun selebaran atau bahkan berupa buku dan tabloid.
Di tulisan sebelumnya penulis
sudah pernah mengemukakan beberapa hal yang menyebabkan semakin rendahnya angka
cakupan imunisasi di Aceh. Beberapa alasan tersebut merupakan hasil survey dua
lembaga di Aceh (PKBI dan Unicef). Dari survei didapatkan beberapa gambaran
yaitu: 1). Masyarakat masih takut dengan efek samping imunisasi, 2).
Masih adanya tokoh agama, tokoh masyarakat, dan petugas kesehatan yang memprovokasi untuk tidak melakukan
Imunisasi, 3). Lemahnya informasi yang didapatkan, 4). Masih rendahnya sumber
daya manusia dan fasilitas kesehatan, serta 5). Berkembang isu vaksin haram
yang mengandung enzim babi. Selain itu hal tersebut juga disokong oleh gerakan
antivaksin yang semakin menunjukkan eksistensinya di Indonesia. Akibatnya
penyakit yang sudah lama menghilang kembali muncul.
Di
Indonesia penyakit difteri kembali muncul sekitar tahun 2003 yaitu di daerah
Bangkalan Jawa Timur yang kemudian menyebar ke hampir semua Kabupaten/Kota di
Jawa Timur dan ditetapkan sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) oleh Gubernur Jatim
pada tahun 2011. Dari tahun 2009, data Surveilan Kemenkes mencatat 189 kasus
difteri dan terus beranjak naik menjadi 342 kasus pada tahun 2010, 806 kasus
tahun 2011 dan puncaknya tahun 2012 mencapai 1192 kasus. Sedangkan di Aceh,
kasus difteri juga meningkat, dari tahun 2012 sampai tahun 2015 ditemukan
sebanyak 16 kasus dan 4 orang di antaranya meninggal. Pada tahun 2016 terdapat
11 kasus difteri dan 4 orang meninggal. Kemudian sepanjang tahun 2017 ditemukan
hampir 113 kasus di Aceh, 5 di antaranya meninggal dan masih terus terjadi
sampai sekarang. Data terbaru dari dari Seksi Surveilans dan Imunisasi P2P Dinas
Kesehatan Provinsi Aceh, sampai Bulan Desember 2018 ditemukan sebanyak 198 kasus
dan terdapat 3 orang meninggal. Sungguh angka kasus yang sangat fantastis. Ya
fantastis mengerikan tentunya. Aceh menjadi “lumbung” difteri.
Dari
198 kasus difteri yang ditemukan tersebut, hampir sebagian besar tidak ada
imunisasi sama sekali, yaitu sebanyak 82%. Selebihnya ditemukan sebanyak 17%
dengan riwayat imunisasi 3x, dan 1% dengan riwayat imunisasi 2x. Hal ini juga
senada dengan data tahun sebelumnya yaitu di tahun 2017, dari 113 kasus difteri
sebanyak 94% diantaranya tanpa imunisasi sama sekali.
Nah,
untuk tahun ini capaian imunisasi menjadi semakin rendah karena dipicu oleh
adanya penolakan vaksin MR oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Dan imbas dari
penolakan tersebut akhirnya masyarakat juga ikut menolak jenis vaksin yang
lain, dengan ikut mengaitkan tentang kandungan enzim babi pada vaksin ini juga.
Hal tersebut jelas terlihat saat kegiatan BIAS yang dilakukan pada bulan
Oktober sampai November 2018 kemarin. Sebagian besar para orang tua tidak
memberikan izin anaknya diberikan suntikan DT/Td. Kalau sudah seperti ini, bisa
kita bayangkan bagaimana imunitas anak anak kita terhadap serangan bakteri
difteri ini. Sangat mengharapkan sekali upaya keras dari Pemerintah Aceh untuk
lebih memperhatikan tentang rendahnya capaian imunisasi ini dikarenakan capaian
imunisasi rendah akan berbanding lurus dengan timbulnya berbagai penyakit yang
seharusnya bisa dicegah oleh imunisasi. Harus terlibat semua stakeholder yang
berkaitan dengan hal tersebut bukan hanya Dinas Kesehatan saja. Bila tidak,
maka wabah difteri di Aceh akan terus terjadi dan korban bisa saja semakin
banyak berjatuhan. Semoga tidak terjadi…
Tidak ada komentar:
Write komentar