Manfaat
dilakukan imunisasi MR ini adalah meningkatkan kekebalan masyarakat terhadap
penyakit campak dan rubella secara cepat, memutuskan transmisi (penularan)
virus campak dan rubella, menurunkan angka kesakitan akibat penyakit campak dan
rubella serta menurunkan angka kejadian sindrom rubella kongenital (CRS/Congenital
Rubella Syndrome).
Namun
yang terjadi adalah pelaksanaan imunisasi MR tahap II ini harus terhenti. Hal
tersebut dikarenakan banyaknya penolakan dari masyarakat termasuk di Aceh. Para
masyarakat meminta kejelasan tentang adanya sertifikat halal dari Majelis Ulama
Indonesia. Pada tanggal 1 Agustus dimana dilakukan pencanangan tersebut, akan
tetapi hanya di beberapa sekolah saja dilakukan. Di berbagai kabupaten di Aceh
juga timbul banyak respon termasuk dari para Kepala Daerah, Kepala Dinas
Kemenag bahkan Bapak Plt Gubernur Aceh pada tanggal 5 Agustus 2018 juga turut
menghimbau untuk menunda pelaksanaan imunisasi MR tersebut. Walaupun himbauan
Bapak Plt Gubernur tersebut tidak tertuang dalam surat resmi, akan tetapi
berita penundaan yang dimuat di media cetak di Aceh tersebut cukup memberi
pengaruh besar. Alhasil sebagian besar Dinas Kesehatan di berbagai Kabupaten
menghentikan pelaksanaan imunisasi tersebut. Cakupan imunisasi MR di Provinsi
Aceh mendapat posisi yang paling rendah yaitu hanya 6,5%.
Kemudian
pada tanggal 20 Agustus 2018, sudah dikeluarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Nomor 33 tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR (Measles Rubella) Produk
dari SII (Serum Institut of India) untuk munisasi. Isi fatwa memutuskan bahwa
secara ketentuan hukum: 1). Penggunaan vaksin yang memanfaatkan unsur babi dan
turunannya hukumnya haram, 2). Vaksin MR produk dari Serum Institute of India
(SII) hukumnya haram karena dalam proses produksinya memanfaatkan bahan yang
berasal dari babi. 3). Penggunaan Vaksin MR produk dari SII pada saat ini,
dibolehkan (mubah) karena ada kondisi keterpaksaan (darurat syar’iyyah), belum
ditemukan vaksin MR yang halal dan suci serta ada keterangan dari ahli yang
kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi
dan belum adanya vaksin yang halal. Kebolehan vaksin MR tidak berlaku jika
ditemukan adanya vaksin yang halal dan suci.
Nah dengan adanya Fatwa MUI yang
sudah dikeluarkan tersebut, menjadi tidak beralasan lagi bagi para orang tua
untuk masih menolaknya. Fatwa MUI mengatakan MUBAH itu berarti boleh melakukan
vaksin pada anak anak kita dan ini harusnya menghilangkan keraguan kita.
Pernyataan yang tertuang dalam Fatwa MUI “dalam proses memanfaatkan bahan yang
berasal dari babi” bukan berarti mengandung babi. Jadi hasil akhir vaksin MR
ini tidak mengandung babi dan ini sudah dilakukan pemeriksaannya ayng
membuktikan hal tersebut. Di sinilah diberlakukan prinsip Istihalah dan
istihlak.
Istihalah
adalah berubahnya sesuatu dari tabiat asal atau sifatnya yang awal. Berkaitan
dengan vaksinasi, istihalah berkaitan dengan perubahan benda najis atau haram
menjadi benda suci yang telah berubah sifat dan namanya, dimana enzim tripsin
babi tersebut telah berubah nama dan sifat atau bahkan hanya sebagai
katalisator pemisah saja dan yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut
sekarang. Penjelasan Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengenai Istihalah: “bahwa
Allah mengeluarkan benda yang suci dari benda yang najis dan mengeluarkan benda
yang najis dari benda yang suci. Patokan bukan pada benda asalnya, tapi pada
sifatnya yang terkandung pada benda tersebut (saat itu). Dan tidak boleh
menetapkan hukum najis jika telah hilang sifat dan berganti namanya.” Contoh
istihalah lainnya seperti khamar yang berubah menjadi cuka, air laut menjadi
garam, minyak menjadi sabun. Contoh lainnya yaitu pupuk kandang dengan kotoran
hewan yang najis kotorannya, karena proses perubahan dan sudah dicampurkan
dengan berbagai bahan maka tanaman tersebut menjadi halal dan boleh kita makan.
Sedangkan
Istihlak adalah bercampurnya benda najis atau haram pada benda yang suci
sehingga mengalahkan sifat najisnya baik rasa, warna dan baunya. Sebagaimana
sabda Rasulullah saw,” bahwa air itu suci, tidak ada yang menajiskannya
sesuatupun.” Kemudian di hadist lainnya,” Jika air mencapai dua qullah maka itu
tidak mengandung najis.” Jadi jika benda tersebut misalnya najis sudah melebur
dengan air dan najis tersebut kalah dengan zat yang meleburkan yaitu air, maka
benda najis tersebut dalam air tidak dianggap lagi dan air tetap suci.
Berkaitan
dengan cara membersihkan najis babi ini, sudah dijelaskan oleh Rasulullah. Pada
saat itu Abu Tsa’labah Al Khusyani bertanya kepada Rasulullah,’Wahai
Rasulullah, kami tinggal di daerah yang mayoritas penduduknya ahli kitab,
apakah boleh kami makan menggunakan dengan wadah mereka?” Rasulullah ,
menjawab,’’Jika Engkau mendapatkan wadah lainnya, jangan makan menggunakan
wadah tersebut. Jika Engkau tidak mendapatkan yng lainnya, maka cucilah wadah
tersebut dan makanlah dengan menggunakan wadah itu.” Dari hadist tersebut bisa
disimpulkan bahwa bisa tetap menggunakan wadah tersebut bila tidak ada
pengganti dan mesti dicuci bersih. Hal ini juga berlaku untuk vaksin yang
digunakan saat ini.
Para
Ulama dunia menerima istihalah pada penggunaan gelatin/tripsin babi pada vaksin
dan menyatakan kehalalan zat yang telah mengalami transformasi. Di Indonesia
yang sebagian besar menganut Mazhab Syafii, dimana membatasi istihalah hanya
pada tiga kondisi saja yaitu perubahan khamar menjadi cuka, kulit hewan najis
yang mejadi halal setelah disamak dan perubahan bangkai babi menjadi garam
secara alamiah. Di luar 3 hal tersebut tidak berlaku konsep istihalah.
Sedangkan tiga Mazhab lain konsep istihalah berlaku secara umum. Nah itulah
sebabnya di negara Islam lain masalah vaksin tidak seheboh di Indonesia.
Pernyataan
dalam Fatwa MUI tersebut yang mengakui bahwa vaksin adalah satu satunya metode
imunisasi sehingga dikatakan sebagai darurat syariyyah. Mengapa dikatakan
darurat? Karena saat ini satu satunya cara untuk mencegah penyakit Rubella yang
akan mengakibatkan lahirnya bayi bayi yang cacat karena Sindrom Rubella
Kongenital, adalah hanya dengan vaksin MR. Dan juga timbul banyak pertanyaan
mengapa dikatakan darurat sedangkan saat ini tidak ada wabah Rubella? Yang
sebenarnya kasus Campak dan Rubella sangat banyak ditemukan. Dalam kurun waktu
5 tahun didapatkan 23.164 kasus campak dan 30.463 kasus Rubella dan 2767 kasus
Sindrom Rubella Kongenital (SRK). SRK ini adalah kondisi kecacatan yang terjadi
pada bayi baru lahir bila si ibu hamil menderita Rubella. Kecacatan yang timbul
ini bisa berupa penyakit jantung bawaan (bocor jantung), kerusakan jaringan
otak yang bisa menyebabkan kelumpuhan ataupun retardasi mental, katarak
kongenital (terdapat selaput putih di lensa mata), dan gangguan pendengaran
atau tuli.
Bagi
yang masih ragu, yakinkan diri ya. Bila di awal pelaksanaan menolak karena belum
ada sertifikat MUI, nah sekarang sudah dikatakan dalam Fatwa MUI bahwa
imunisasi MR hukumnya mubah ya jangan mencari alasan lain. Sungguh naif di saat
kita menolak vaksin untuk anak anak kita yang sudah difatwa mubah, di sisi lain
si Ayah malah merokok, yang sudah jelas dinyatakan haram. Kalaupun masih tetap
bersikukuh supaya keluar sertifikat halal barulah mau mengimunisasi anaknya,
ketahuilah bahwa semua obat yang beredar sekarang tanpa ada sertifikat halal.
Termasuk juga obat bius yang digunakan saat operasi besar ataupun kecil.
Termasuk saat dilakukan khitan pada anak anak kita. Nah kita tidak mau kan anak
kita dikhitan tanpa dibius?? So para Ayah/Bunda mari jangan lagi merasa ragu
untuk membawa buah hatinya imunisasi MR. Yakinlah bahwa ini adalah suatu
ikhtiar kita para orang tua untuk memebri perlindungan untuk anak anak kita.
Jangan lagi terpengaruh dengan para Antivaksin yang terus menerus memberikan
berita sesat tentang keburukan imunisasi. Dan kepada para pengambil Kebijakan
di Aceh sangat kita harapkan supaya segera mengeluarkan pernyataan untuk
melanjutkan kembali pelaksanaan imunisasi MR ini.
Tidak ada komentar:
Write komentar