Setiap
tanggal 26 Maret, dunia memperingati Purple
Day yakni sebuah gerakan global untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
mengenai epilepsi.. Tujuan peringatan ini setiap tahunnya adalah untuk terus memberikan
edukasi kepada masyarakat luas tentang penyakit epilepsi, dan bahwa epilepsi
bukanlah suatu aib bagi keluarga. Bukan merupakan penyakit menular ataupun
suatu kutukan bagi si pasien dan keluarganya. Epilepsi dalam bahasa awam sering
disebut penyakit ayan, sawan atau gila babi. Banyak yang menganggap epilepsi
adalah penyakit keturunan bahkan menular dengan bentuk serangan kejang kaku
kelojotan disertai keluarnya buih dari mulut. Padahal, tidak semua serangan
epilepsi bermanifestasi dalam bentuk kejang.
Kasus epilepsi merupakan kasus morbiditas yang
paling sering dalam bidang neurologi anak. Insidens epilepsi pada anak
dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per 1000
anak. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan
pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50%
terjadi pada anak anak.
Sebagian epilepsi merupakan kejang berulang dua kali
atau lebih tanpa penyebab, tanpa disertai dengan demam yang diakibatkan dari
lepasnya muatan listrik yang berlebihan dari sel otak. Kejang yang terjadi bisa
berupa kaku seluruh tubuh, timbul kedutan di mata atau wajah, atau anak hanya
berupa melamun saja dan kemudian hilang tenaga bahkan sampai terjatuh. Kejang
pada anak epilepsi tidak mesti mengeluarkan busa atau buih dari mulut. Bagaimana
bentuk kejangnya tergantung pada area otak yang mana yang terkena.
Epilepsi merupakan suatu kejadian defisit neurologi
atau gangguan fungsi otak yang terjadi akibat proses lepasnya muatan listrik
(over discharge) pada sel otak (neuron). Akibat gangguan pada
lepasnya muatan listrik pada sel otak tersebut bisa menimbulkan gejala yang
bermacam-macam, yang dapat timbul secara berselang sebentar atau berulang.
Epilepsi bisa diturunkan secara genetik, akan tetapi
tidak semua epilepsi berkaitan dengan genetik dalam arti bahwa bisa saja
epilepsi terjadi pada anak walaupun dalam keluarga tidak ada yang mempunyai
riwayat epilepsi tersebut. Anak yang pernah mengalami perdarahan otak, riwayat
radang selaput otak (meningitis), radang otak (ensefalitis), atau gangguan
perkembangan otak yang lain bisa
mengalami epilepsi di kemudian hari. Banyak kasus terdapat penderita palsy
serebral juga disertai dengan epilepsi. Anak dengan kejang demam juga memiliki
risiko menjadi epilepsi bila terdapat kelainan neurologis sebelum kejang demam
pertama, kejang demam kompleks dan adanya riwayat epilepsi pada orang tua atau
saudara kandung dan terjadinya Kejang Demam Sederhana (KDS) yang berulang 4
episode dalam setahun atau lebih.
Untuk mendiagnosis epilepsi, pemeriksaan yang
dilakukan adalah Electroencephalografi (EEG). Pemeriksaan EEG terutama untuk
melihat bagian otak yang menjadi asal fokus kejang (kanan/kiri, bagian
depan/samping/belakang), penyebaran kejang ke daerah lain di otak, serta
melihat jenis epilepsi. Semuanya bermanfaat untuk menentukan obat anti-epilepsi
yang akan diberikan, jenis epilepsi, dan menentukan perjalanan epilepsi itu
sendiri pada kemudian hari.
Pasien yang sudah didiagnosis dengan epilepsi akan
menjalani pengobatan obat anti epilepsi selama dua tahun. Obat anti epilepsi
diberikan bertujuan untuk mengontrol kejang. Akan tetapi apabila pengobatannya
dihentikan maka berisiko kekambuhan kejang.
Nah, apa yang
bisa dilakukan apabila menemukan seorang penderita epilepsi sedang mengalami
kekambuhan? Sebaiknya jangan menjauhi tetapi segeralah memberi pertolongan.
Tindakan pertama yang dapat dilakukan sebelum dibawa ke pusat layanan
kesehatan adalah menyelamatkan pasien dengan melakukan antisipasi memperbaiki
jalan nafas yaitu dengan memiringkan kepalanya agar air liurnya tidak masuk ke
saluran pernafasan karena hal tersebut menyebabkan aspirasi. Dan selain itu penderita
harus segera kita jauhkan dari air, api, ataupun unsur unsur yang membahayakan
lainnya,
Prognosis anak penderita epilepsi tergantung dari
berbagai faktor yaitu berupa seringnya terjadi demam, ada tidaknya kelainan
neurlogis atau kelainan mental, jenis serta lamanya kejang. Prognosis sangat
dipengaruhi oleh terkontrolnya kejang. Penderita akan bisa hidup normal bila
sudah terkontrol kejang (bebas serangan kejang) dan terbebas dari konsumsi obat
anti epilepsi.
Tidak ada komentar:
Write komentar