Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Litbangkes)
bahwa
angka stunting pada anak
balita yaitu 30,8%
dan pada baduta 29,9%, menunjukkan penurunan dibandingkan Riskesdas 2013 dengan
angka stunting 37,2%.
Adapun
proporsi status gizi sangat pendek dan pendek menurut provinsi paling tinggi
yaitu di Nusa Tenggara Timur yang mencapai 42,6% dan terendah di DKI Jakarta sebesar
17,7%. Di Aceh,
angka stunting balita yaitu 37,3% dan pada baduta 37,9%. Akan tetapi meskipun tren stunting
mengalami penurunan, hal ini masih berada di bawah rekomendasi WHO. Persentase
stunting di Indonesia secara keseluruhan masih tergolong tinggi dan harus
mendapat perhatian khusus..
Stunting
merupakan suatu kondisi dimana tinggi badan seseorang ternyata lebih pendek
dibandingkan tinggi badan orang lain pada umumnya (yang seusia). Penyebab
stunting adalah kurangnya asupan gizi yang diterima oleh janin/bayi. Stunting
adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang
dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan gizi. Stunting terjadi
mulai dari dalam kandungan dan nantinya akan
tampak saat usia anak dua tahun. Stunting
saat ini menjadi masalah serius di Indonesia.
Nah, bagaimana seharusnya fase pertumbuhan dan
akselerasi yang harus dilewati oleh seorang anak? Jadi masa pasca natal (setelah
kelahiran) yang dimulai dari masa bayi (fase deselerasi), bayi itu mengalami
pertumbuhan dimana kecepatannya yaitu 20-25 cm/tahun. Dimana didapatkan bahwa
Tinggi Badan (TB) usia satu tahun = 1,5 x panjang badan (PB) lahir. Kecepatan
pertumbuhan di tahun kedua adalah 10-13 cm/tahun. Kemudian hingga usia tiga
tahun disebut dengan lanjutan fase deselerasi, TB usia empat tahun sama dengan
2x PB saat lahir, sedangkan TB menjelang pubertas adalah 80-85% TB masa dewasa.
Pada saat pubertas terjadi akselerasi pertumbuhan (growth spurt), terjadi
akeselerasi pertumbuhan maksimal. Pada laki laki 11-12 cm/tahun dan perempuan 8-9
cm/tahun.
Menurut
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek
adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur
(PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah
stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Stunting dapat kita ketahui
saat seorang balita sudah ditimbang berat badannya dan diukur panjang atau
tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada di bawah
normal. Jadi secara fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita
seumurnya. Ukuran PB/TB tersebut
kita tentukan dengan menggunakan kurva Z score WHO. Dikatakan pendek (stunted)
bila PB/TB berada di bawah <-2 bawaah="" berada="" bila="" dan="" di="" dikatakan="" pendek="" sangat="" score="" severely="" span="" stunted="" z=""> -2>
Stunting berarti pendek tapi tidak semua anak pendek
adalah stunting. Stunting adalah kondisi gagal
tumbuh akibat kekurangan gizi di seribu hari
pertama kehidupan anak. Kondisi ini berefek jangka panjang hingga anak dewasa
dan lanjut usia. Kekurangan gizi sejak dari
dalam
kandungan bisa menimbulkan gangguan pada pertumbuhan otak
dan organ lain, yang mengakibatkan anak lebih berisiko terkena berbagai penyakit
seperti diabetes, hipertensi,
dan gangguan jantung. Ada dua syarat untuk mengatakan seorang anak mengalami
stunting, yakni malnutrisi dan mengalami infeksi kronis. Sedangkan
anak
dengan tubuh yang pendek (short stature) belum tentu mengalami gagal tumbuh. Anak bertubuh pendek
mengalami pertumbuhan fisik dan mental normal layaknya anak lain. Namun, tinggi
badannya kurang dari rata-rata anak sesuainya sehingga terlihat mencolok. Anak
dengan tubuh pendek tidak
mengalami peningkatan risiko mengalami penurunan fungsi otak ataupun berbagai penyakit
degeneratif. Seiring
waktu,
anak yang bertubuh pendek akan bisa
menyusul tinggi teman-temannya.
Stunting mempengaruhi tingkat kecerdasan, kerentanan
terhadap penyakit, menurunkan produktivitas dan kemudian menghambat pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan. Laporan Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yang diterbitkan pada Agusutus
2018, didapatkan data bahwa tingkat kecerdasan anak Indonesia berada di urutan
64 terendah dari 65 negara. Sungguh miris!!
Maka oleh karenanya penanganan masalah stunting harus
menjadi prioritas Pemerintah. Di tahun 2019, ada 160 kabupaten di Indonesia
menjadi prioritas, di antaranya ada tiga kabupaten di Aceh masing masing yaitu Aceh Tengah, Aceh Timur dan Pidie.
Terdapat dua intervensi penanganan
stunting yaitu intervensi Gizi Spesifik (berkontribusi 30%, ditujukan kepada
anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan, umumnya dilakukan oleh sektor
kesehatan) dan intervensi gizi sensitif (berkontribusi 70%, ditujukan melalui
berbagai pembangunan di luar kesehatan dengan sasaran masyarakat umum).
Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu hamil, bayi baru lahir sampai usia
6 bulan dan bayi usia 6 – 24 bulan. Ibu hamil mendapat
tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan, pemberian makanan
tambahan ibu hamil, pemenuhan gizi, persalinan dengan dokter atau bidan yang
ahli, IMD (Inisiasi Menyusu Dini), ASI Eksklusif pada bayi hingga usia 6 bulan,
pemberian makanan pendamping ASI
(MP ASI) untuk bayi mulai usia 6 bulan dan melanjutkan ASI sampai usia 2 tahun.
Berikan imunisasi dasar
lengkap dan Vitamin A, suplementasi Zink,
Zat Besi, penatalaksanaan malnutrisi akut dan pemantauan tumbuh kembang. Melakukan
kunjungan secara teratur ke dokter atau pusat pelayanan kesehatan lainnya untuk
memantau pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu setiap bulan ketika
anak berusia 0 sampai 12 bulan, setiap 3 bulan ketika anak berusia 1 sampai 3
tahun, setiap 6 bulan ketika anak berusia 3 sampai 6 tahun, setiap tahun ketika
anak berusia 6 sampai 18 tahun.
Sedangkan intervensi gizi sensitif yaitu berupa
penyediaan akses air bersih, akses layanan kesehatan, program pendidikan gizi
masyarakat, edukasi kesehatan reproduksi dan gizi pada remaja, peningkatan
ketahanan pangan dan gizi, pemberian jaminan sosial dan kesehatan bagi semua masyarakat,
manajemen gizi saat bencana serta upaya perlindungan anak dan pemberdayaan
perempuan.
Banyak dijumpai di masyarakat, orang tua kurang paham
tentang pemberian MP ASI yang kemudian sering membuat si anak tidak tercukupi
kebutuhan zat gizinya. Menurut WHO Global Strategy for Feeding Infant and Young
Children merekomendasikan agar pemberian MP ASI memenuhi 4 syarat, yaitu: 1).
Tepat waktu (timely), artinya MP ASI harus diberikan saat ASI eksklusif sudah
tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi, 2). Adekuat, artinya MP ASI
memiliki kandungan energi, protein, dan mikronutrien yang dapat memenuhi
kebutuhan makronutrien dan mikronutrien bayi sesuai usianya 3). Aman, artinya
MP ASI disiapkan dan disimpan dengan cara cara yang higienis, diberikan menggunakan
tangan dan peralatan makan yang bersih, 4). Diberikan dengan cara yang benar
(properly fed), artinya MP ASI diberikan dengan memperhatikan sinyal rasa lapar
dan kenyang seorang anak. Frekuensi makan dan metode pemberian makan harus
dapat mendorong anak untuk mengonsumsi makanan secara aktif dalam jumlah yang
cukup menggunakan tangan, sendok, atau makan sendiri (disesuaikan dengan usia
dan tahap perkembangan seorang anak).
Orang tua merupakan pihak yang sangat berperan penting
dalam status nutrisi si anak sehingga mereka harus tahu tentang berbagai
tentang stunting ini. Setiap orang tua harus paham tentang pemberian makanan
dan minuman untuk anaknya bahkan sejak si bayi lahir. Ilmu seputar ASI, MP ASI,
malah harus dimiliki sejak si Ibu mengetahui dirinya mengandung. Dengan
demikian si Ibu dan Ayah sudah punya bekal yang cukup dalam menghadapi
kelahiran dan tumbuh kembang anaknya nantinya yang tentu saja sangat berkaitan
dengan pengetahuan tentang gizi anak anaknya. Semoga dengan demikian kita
harapkan angka stunting di Aceh semakin menurun.
Tidak ada komentar:
Write komentar