Penyakit
tuberkulosis (TBC) masih menjadi penyakit penyebab kematian nomor satu di
Indonesia di antara penyakit menular lainnya. Sumber data di WHO dan website Kementerian Kesehatan, bahwa di dunia,
TBC merupakan satu dari sepuluh penyebab kematian dan penyebab utama agen
infeksius. Setiap harinya hampir 4500 orang meninggal karena TBC dan hampir
30.000 orang yang jatuh sakit dengan penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan
diobati ini. Pada tahun 2017, TBC ini menyebabkan kematian sekitar 1,3 juta
orang di antara orang dengan HIV negatif, dan sekitar 300.000 kematian pada
penderita HIV positif. Diperkirakan
terdapat 10 juta kasus baru yang setara dengan 133 kasus per 100.000 penduduk.
Di
Indonesia, insiden penyakit TBC adalah 842.000 atau 319 kasus per 100.000
penduduk sedangkan kasus TBC-HIV sebesar 36.000 kasus per tahun atau 14 per
100.000 penduduk. Angka kematian karena TBC diperkirakan 107.000 atau 40 per
100.000 penduduk dan kematian karena TBC-HIV sebanyak 9400 atau 3,6 per 100.000
penduduk. Bila dengan kasus sebesar 842.000 per tahun dan notifikasi (pelaporan
kasus) TBC sebesar 442.172 kasus, maka masih ada sekitar 47% yang belum
ternotifikasi. Baik itu kasus yang belum terjangkau atau belum terdeteksi atau malah
belum terlaporkan. Nah, bagaimana dengan di Aceh? Berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan Provinsi Aceh, jumlah kasus TBC untuk tahun 2018 adalah 8471 kasus
dan kasus anak ternotifikasi sebanyak 240. Untuk pelaporan ini dikategorikan
kasus TBC anak adalah usia 0-14 tahun. Kasus TBC terbanyak yaitu dari Kabupaten
Aceh Utara yaitu sebanyak 1247 kasus dengan Case Detection Rate (CDR) 48%.
Penyakit
ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosis yang ditemukan oleh Robert
Koch. Robert Koch berhasil mengidentifikasi kuman tersebut pada abad ke-19
yaitu pada tanggal 24 Maret 1882 yang kemudian diperingati sebagai Hari
Tuberkulosis Dunia. Peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia (HTBS) tahun 2019 ini
bertujuan untuk membangun kesadaran pada masyarakat bahwa TBC masih menjadi
penyakit epidemi di dunia. Tema HTBS
global adalah “it’s time”. Sedangkan Indonesia mengambil tema “Saatnya
Indonesia Bebas dari TBC, Mulai dari Saya” melalui aksi “Temukan Tuberkulosis
Obati Sampai Tuntas (TOSS TBC). Maksud dari “Saatnya Indonesia Bebas dari TBC”
adalah mengingatkan kembali kepada semua pihak bahwa saat ini adalah waktunya
kita semua berbuat lebih untuk mencapai eliminasi TBC. Diharapkan Indonesia
bisa bebas TBC di tahun 2030. Untuk kalimat “Mulai dari Saya” berarti bahwa
semua orang baik yang sehat maupun sakit mempunyai kesadaran untuk memberikan
kontribusinya dalam hal pencegahan dan penanggulangan TBC. Sedangkan kegiatan
TOSS merupakan kegiatan penemuan secara aktif dan pasif serta mendorong pasien
TBC untuk memeriksakan diri dan menjalani pengobatan hingga tuntas. Untuk
peringatan World TB Day tahun ini, WHO meminta Pemerintah sebagai pemangku
kebijakan untuk mengajak semua komunitas, organisasi sosial kemasyarakatn, para
provider kesehatan, untuk bersatu dan fokus dalam “Temukan, Obati semua”
#TuntaskanTB.
Apakah
anak bisa menderita TBC? Tentu saja bisa. Banyak faktor risiko terjadinya
infeksi TBC pada seorang anak yaitu berupa adanya kontak atau terpajan dengan
orang tua/orang dewasa lain yang menderita TBC, daerah endemis, kemiskinan,
lingkungan yang kumuh dengan hygiene dan sanitasi yang buruk. TBC merupakan
penyakit menular. Penularan penyakit ini
yaitu melalui droplet (percikan) dahak saat batuk, bersin. Pasien TBC anak
jarang menularkan kuman kepada anak yang lain atau orang dewasa di sekitarnya
karena kuman TBC sangat jarang ditemukan dalam sekret endobronkhial. Jumlah
kuman mycobacterium tuberculosis pada anak sangat sedikit, tapi karena imunitas
anak yang lemah maka kuman yang sedikit saja sudah menyebabkan sakit. Produksi
dahak pada anak yang TBC juga sangat sedikit. TBC dengan BTA negatif juga masih
memiliki kemungkinan menularkan penyakit TBC meskipun dengan tingkat penularan
yang kecil.
Ukuran kuman mycobacterium
tuberculosis sangat kecil sehingga mudah sekali terhirup dan masuk ke paru.
Pada sebagian kasus bila kita menghirup kuman tersebut maka kuman akan
dihancurkan seluruhnya oleh sistem imunitas tubuh kita. Akan tetapi pada
sebagian kasus lain tidak seluruhnya dihancurkan. Maka kuman tersebut akan
terus berkembang biak dan merusak sel yang diserangnya. Kemudian kuman akan
dibawa melalui kelenjar limfe sehingga menyebabkan pembengkakan (teraba
pembesaran kelenjar di leher, sela paha seperti benjolan kecil). Masa inkubasi
(saat mulai masuk kuman sampai timbul gejala klinis) yaitu berkisar 4-8 minggu.
Gejala
klinis anak dengan TBC yaitu adanya keluhan demam berulang lebih dari 2 minggu
tanpa sebab yang jelas. Gejala lain berupa nafsu makan berkurang, batuk lama
lebih dari 3 minggu, berat badan anak tidak bertambah malah cenderung turun
walaupun dengan asupan gizi yang cukup dan anak tampak lesu, kurang aktif
bermain. Faktor yang terpenting kita mencurigai seorang anak menderita TBC
adalah adanya kontak erat dengan penderita TBC dewasa. Bila menemukan gejala
seperti ini akan dilakukan uji tuberkulin (mantoux test) serta beberapa
pemeriksaan lain.
Selama ini Pemerintah terus gencar
melakukan berbagai cara untuk penuntasan penyakit TBC ini akan tetapi kasus
yang terjadi masih tetap banyak. Ada beberapa faktor yang diperkirakan
menyebabkan hal tersebut yaitu: 1). Masa pengobatan yang lama, dimana seseorang
yang sudah didiagnosis TBC harus menjalani terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
selama 6 bulan bahkan ada yang harus minum obat selama 9-12 bulan. Hal tersebut
menyebabkan banyak pasien yang menghentikan pengobatannya sendiri mungkin karena
bosan minum obat terus menerus. 2). Adanya peningkatan kasus infeksi HIV. HIV
menyebabkan kondisi tubuh dengan daya tahan yang buruk karena syitem imunitas
yang diserang oleh kuman HIV sehingga memudahkan kuman lain bisa menyerang
tubuh termasuk salah satunya adalah kuman mycobacterium Tuberculosis ini. 3).
Terjadinya resistensi obat OAT dimana ini menyebabkan makin sulitnya pengobatan
pasien TBC. Pemicu resistensi obat tersebut adalah pengobatan yang tidak tuntas
dimana pasien memutuskan berhenti minum obat.
Pada anak, kasusnya juga terus
meningkat. Semakin meningkatnya kasus TBC pada anak belakangan ini sangat
berkaitan dengan semakin meningkatnya kasus TBC pada orang dewasa. Pelacakan
penderita TBC dewasa dan juga anak menjadi keharusan bagi semua petugas
kesehatan juga kader kader di desa yang sudah dilatih untuk mengenali
masyarakat yang mungkin menunjukkan gejala TBC. Setelah terindentifikasi maka
akan dilakukan pemeriksaan sesuai prosedural dan pengobatan sampai tuntas.
Bila dalam satu
keluarga ditemukan ada yang menderita TBC maka seluruh anggota keluarga harus
dilakukan pemeriksaan. Apakah juga sudah menderita penyakit tersebut. Termasuk
anak juga harus dilakukan pemeriksaan. Walaupun hasilnya negatif, si anak tetap
harus diberikan terapi pencegahan satu macam obat dan diminum selama masih
kontak dengan si penderita atau dengan kata lain sampai si penderita dinyatakan
sembuh oleh dokter. Selama kontak dengan penderita untuk mencegah penularan
dapat dilakukan dengan mengedukasi penderita supaya menutup
mulut saat batuk dan bersin, tidak meludah atau buang dahak
sembarangan,
menghindari kontak langsung dengan anak-anak, dan membiarkan
sinar matahari masuk ke dalam ruangan serta tetap mengkonsumsi makanan yang bergizi
dan tentu saja menghentikan merokok (bila selama ini si penderita merokok).
Penyakit
TBC bisa dicegah salah satunya dengan imunisasi BCG yang diberikan saat usia 1
bulan. Efek proteksi vaksin BCG ini timbul 8-12 minggu setelah imunisasi.
Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TBC paru, TBC Milier, TBC selaput
otak (meningitis TB), TBC Tulang Belakang (Spondylitis TB). Walaupun imunisasi
ini tidak mencegah 100% kejadian TBC akan tetapi sangat efektif terutama untuk
mencegah TBC yang berat. Jadi tunggu apalagi, mari bawa bayi bayi kita untuk
imunisasi BCG sehingga dapat mencegah TBC. Para orang tua jangan sampai terpengaruh
dengan berbagai kampanye hitam tentang imunisasi. Kesehatan anak anak kita jauh
lebih penting. Dengan berbagai upaya yang dilakukan baik oleh Pemerintah maupun
masyarakat kita harapkan suatu saat nanti Aceh bisa Bebas TBC. SEMOGA…
Tulisan ini sudah dimuat di harian Serambi Indonesia tanggal 23 Maret 2019. yaitu dihttp://aceh.tribunnews.com/2019/03/23/kapan-aceh-bebas-tbc
Tidak ada komentar:
Write komentar