Bulan
April 2019 kemarin kita dikejutkan lagi dengan berita di media massa bahwa
kembali ada penderita difteri di salah satu kabupaten di Aceh. Si anak
didiagnosis dengan penyakit difteri dan harus menjalani perawatan selama dua
minggu. Dari hasil pemeriksaan swab (apusan) tenggorok ditemukan hasil positif
difteri. Dan ternyata dengan riwayat imunisasi tidak ada sama sekali. Lagi lagi
kejadian ini membuat sedih, ya sangat sedih. Penyakit yang seharusnya bisa kita
cegah dengan imunisasi tapi masih saja terjadi dan terjadi lagi di nanggroe
tersayang ini.
Hal yang lebih menyedihkan lagi yang
menimpa penderita difteri adalah orang tua si pasien bahkan bisa saja
kehilangan pekerjaannya. Selama perawatan anaknya yaitu 14 hari, Ayah dan Ibu
harus menemani si anak yang dirawat di ruang isolasi Rumah Sakit. Berarti
selama 2 minggu tidak bekerja sama sekali. Selain kemungkinan kehilangan
pekerjaan, di lingkungan tempat tinggal juga sekolah si anak, mereka dikucilkan
dan dilarang bergaul dengan teman temannya bahkan ada yang harus pindah sekolah
karenanya. Mereka dianggap bisa menularkan kepada orang lain di sekitar. Kejadian
begini (pengucilan), sudah terjadi berulang kali. Beginikah kita memperlakukan
pasien post rawatan difteri? Bagaimana sebenarnya status pasien setelah
menderita difteri, apakah mereka sudah bisa dinyatakan sembuh total?
Nah, bisa saja hal demikian terjadi
karena ketidaktahuan kita tentang penyakit difteri ini. Karena ketidaktahuan
para guru, ketidaktahuan para orangtua siswa lain juga ketidaktahuan
masyarakat, karena ketakutan mereka bakal tertular. Maka bertanyalah kepada
ahlinya supaya kita tidak salah langkah, tidak salah dalam memperlakukan orang
lain serta tidak merugikan orang tersebut.
Tingginya Kasus Difteri di Aceh
Di
Aceh, tahun 2018 terdapat sebanyak 198 kasus difteri. Dari 198 kasus difteri
yang ditemukan tersebut, hampir sebagian besar tidak ada imunisasi sama sekali,
yaitu sebanyak 82%. Selebihnya ditemukan sebanyak 17% dengan riwayat imunisasi
3x, dan 1% dengan riwayat imunisasi 2x. Hal ini juga senada dengan data tahun
sebelumnya yaitu di tahun 2017, dari 113 kasus difteri sebanyak 94% diantaranya
tanpa imunisasi sama sekali. Sebanyak delapan orang meninggal karena komplikasi
penyakit ini masing masing 3 orang di tahun 2018 dan 5 orang di tahun 2018.
Sampai April 2019 ini, penderita difteri sudah mencapai 27 orang. Padahal
berdasarkan Permenkes 1501 tahun 2010, suatu wilayah dinyatakan KLB (Kejadian
Luar Biasa/wabah) difteri jika ditemukan minimal 1 suspek difteri. Nah,
apakabar Aceh yang sudah punya ratusan kasus???
Penyakit difteri tersebar di seluruh
dunia. Tercatat ada 7217 kasus pada tahun 2014 dan 98% di antaranya berasala
dari negara negara anggota WHO South East Asian Region (SEAR). Di Indonesia,
jumlah kasus difteri yang dilaporkan yaitu 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari
kasus SEAR), menurun kemudian menjadi 430 kasus pada tahun 2014. Pada tahun
2015 sebanyak 529 kasus dan tahun 2016 terdapat 591 kasus. Akan tetapi kemudian
kasusnya kembali meningkat pesat di tahun 2017 yaitu sebanyak 954 kasus.
Seorang
pasien didiagnosis sebagai difteri melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh
dokter. Setelah ditemukan gejala berupa demam, nyeri menelan, suara nafas
berbunyi (stridor) dan terdapatnya selaput (pseudomembran) bewarna putih
keabuan di bagian tenggorokan (amandel/tonsil atau di faring), maka dokter akan
menentukan apakah itu suatu difteri atau bukan. Anamnesis tetap perlu
ditanyakan secara teliti termasuk juga riwayat imunisasi.
Apabila pasien tidak diobati dan
tidak mempunyai kekebalan (tanpa imunisasi), angka kematian adalah sekitar 50%,
sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10%. Angka kematian akibat
difteri rata rata 5-10% pada anak usia
kurang dari 5 tahun dan 20% pada dewasa (di atas 40 tahun). Pasien difteria
bisa menularkan penyakitnya ke orang lain melalui kontak langsung atau melalui
droplet (percikan) ketika batuk, bersin atau saat berbicara. Muntahan atau pun
debu juga bisa merupakan media penularannya.
Perawatan
pasien difteri dilakukan di ruang isolasi, dirawat selama 10-14 hari dengan
pemberian ADS (Anti Difteria Serum), obat yang sangat mahal dengan harga jutaan
per botol (vial) akan tetapi sekarang bisa didapatkan gratis oleh pasien.
Kemudian pemberian suntikan antibiotika Penisilin Prokain selama 10 hari yang
disuntikkan di paha/bokong, diberikan juga pengobatan suportif dan terapi
terhadap komplikasi yang ditemukan.
Tujuan pengobatan pasien difteri
adalah untuk menginaktivasi toksin kuman secepatnya, mencegah dan mengusahakan
agar penyulit atau komplikasi yang timbul minimal, mengurangi jumlah kuman
untuk mencegah penularan dan mengobati infeksi lain yang menyertai. Pasien
dirawat dalam ruang isolasi (hanya ditemani orang tua, tanpa ada kunjungan dari
siapapun kecuali petugas medis RS saja), istirahat yang cukup dan pemberian
cairan serta gizi yang adekuat.
Untuk
keluarga atau orang yang kontak dengan penderita difteri harus diperiksa oleh
dokter untuk menentukan apakah mereka juga menderita atau hanya karier (pembawa
kuman) difteri dan mendapat pengobatan antibiotika Erythromisin selama 5 hari. Seluruh kontak (dalam 7 hari terakhir) ditelusuri,
terutama kontak terdekat: keluarga, teman sekolah, teman bermain, teman kerja, petugas
kesehatan di lapangan/RS, dilakukan pemeriksaan klinik dan hapusan hidung dan tenggorok.
Jika klinis tidak ada, tapi kultur hapusan dinyatakan hasilnya
positif (+) maka
obat Erythromisin diberikan sedikitnya 5 hari, lalu dilakukan kultur ulang. Jika ditemukan gejala klinis, maka didiagnosis sebagai difteri
dan
pasien dirawat di RS serta diobati
sebagai difteri.
Untuk
anggota keluarga yang dinyatakan sehat, segera diberikan imunisasi DPT
(Diphteri Pertusis Tetanus), dimana apabila belum pernah mendapat imunisasi
DPT, diberikan DPT tiga kali dengan interval masing masing 4 minggu. Apabila
imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (dilanjutkan dengan imunisasi yang
belum diberikan, tidak perlu diulang) dan apabila telah lengkap imunisasi dasar
(saat usia <1 1x.="" ditambah="" dpt="" imunisasi="" perlu="" span="" tahun="" ulangan="">1>
Jangan Kucilkan Mereka
Nah,
bagaimana dengan status kesehatan pasien pasca dirawat? Apabila klinis
penderita setelah terapi membaik (selesai masa pengobatan 10-14 hari), maka
bisa dipulangkan tanpa menunggu hasil kultur laboratorium. Kepada pasien ini
disarankan untuk diberikan imunisasi DPT setelah 4-6 minggu dari waktu
pemberian ADS serta kemudian diusahakan untuk melengkapi imunisasi sebelumnya.
Dengan demikian, pasien yang sudah
selesai pengobatannya tidak bisa menularkan lagi ke lingkungan sekitarnya untuk
saat tersebut, dalam arti dia tidak lagi mengandung kuman difteri di
tenggorokannya. Sebenarnya setelah pengobatan selama 2 x 24 jam, si penderita
sudah tidak bersifat infeksius lagi (tidak menularkan lagi) tapi tetap mesti dirawat
lama karena untuk mengevaluasi komplikasi yang mungkin terjadi dan
menyelesaikan pemberian antibiotika.
Jadi
jangan pernah kucilkan mereka, jangan pernah hina mereka. Penderita difteri
begitu dibolehkan keluar dari RS, maka mereka bisa bergaul dan beraktivitas
seperti anak lainnya (bermain juga bersekolah dan lain lain). Termasuk juga
keluarganya bebas beraktivitas kembali di masyarakat dan lingkungan
pekerjaannya. Bisa jadi ketidaktahuan dan penerimaan informasi yang salah yang
menyebabkan orang tua tidak mengizinkan anaknya diimunisasi sehingga kemudian
berisiko menderita sakit tersebut.
Yang perlu kita
lakukan adalah mulai dari sekarang terus lindungi anak anak kita dari
kemungkinan tertular penyakit mematikan tersebut. Pencegahan yang utama adalah
dengan imunisasi difteri yaitu dilakukan sebanyak 7x untuk bisa memiliki
kekebalan penuh terhadap difteri. Masing masing pada usia 2, 3, 4, 18 bulan,
saat kelas 1, 2, dan 5 Sekolah Dasar. Perlindungan optimal terhadap difteri
pada masyarakat dapat dicapai dengan cakupan imunisasi rutin (baik dasar maupun
lanjutan) yang merata dan tinggi. Cakupan harus mencapai minimal 95%, merata di
setiap kabupaten’kota dan tetap dipertahankan. Nah, mampukah kita? Mampukah
Aceh??????
Tidak ada komentar:
Write komentar