Resistensi
obat menyebabkan menurunnya kemampuan antibiotika tersebut dalam mengobati
infeksi dan penyakit pada manusia. Hal ini mengakibatkan pengobatan yang
diberikan menjadi tidak efektif, meningkatkan efek samping penggunaan obat
serta meningkatkan pembiayaan dalam pengobatan juga meningkatnya angka
kesakitan (morbiditas) maupun angka kematian (mortalitas) pasien.
Resistensi
antibiotika artinya adalah kondisi pemberian antibiotika dimana sudah terjadi
kekebalan bakteri yang berbahaya, bahwa antibiotika tersebut tidak mampu untuk
membunuh kuman berbahaya. Selain menyebabkan resistensi, penggunaan antibitika
yang tidak tepat juga bisa menimbulkan efek samping yang berbahaya dan juga
reaksi alergi.
Asal
mula penggunaan antibiotika adalah berdasarkan Postulat Koch: membuktikan sakit klinis disebabkan
oleh berbiaknya kuman dalam
tubuh. Kalau kuman di manusia dibunuh dia akan sembuh dari sakitnya, jadi manusia sakit harus diberi antibiotika.
Ternyata tidak semua sakit disebabkan
oleh kuman , sehingga antibiotika
seharusnya hanya untuk mengobati
penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman saja, membunuh kuman
pathogen penyebab sakit, menekan jumlah kuman, eliminasi dan eradikasi kuman,
dosis yang tepat dan cukup lama.
Pengunaan
yang tidak tepat yaitu tidak ada indikasi
(bukan infeksi bakteri), terlalu banyak/tinggi
dan terlalu sering, terlalu
lama. Hal demikian menyebabkan tidak
bermanfaat, tidak efisien, menyebabkan perubahan ekosistem internal, serta
tentu saja menimbulkan resistensi.
Bagaimana
supaya mencegah hal demikian? Perlu kerjasama tentunya. Semua pihak harus
mengetahui tentang bagaimana penggunaan antibiotika yang seharusnya. Mulai dari
seorang dokter baik dokter umum maupun dokter spesialis harus benar benar
memberikan resep antibiotika yang sesuai dengan indikasi dan hanya memberikan
resep tersebut bila ada indikasi. Regulasi jelas harus dibuat. Bahwa
antibiotika tidak boleh diberikan bila tidak ada resep dari dokter. Apotek
harus dengan tegas menolak pembelian obat antibiotika bila si pasien tidak
membawa resep dari dokter. Apabila hal tersebut dilanggar oleh apotek, maka
harus ada sanksi yang jelas diberikan oleh yang berwenang akan hal ini.
Dengan
demikian maka kita bisa mengurangi beban biaya pengobatan yang tidak
diperlukan, mecegah pengobatan yang sia sia, dan mengurangi bahkan
menghilangkan kemungkinan terjadinya resistensi antibiotika di masyarakat.
Salah
satu cara untuk mengendalikan kejadian resistensi bakteri adalah dengan
penggunaan antibiotik secara rasional. Menurut WHO, kriteria pemakaian obat
yang rasional, antara lain sesuai dengan indikasi penyakit, pengobatan
didasarkan atas keluhan individual dan hasil pemeriksaan fisik yang akurat,
diberikan dengan dosis yang tepat melalui perhitungan usia, berat badan dan
kronologis penyakit, cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat,
jarak minum obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan, lama
pemberian yang tepat, pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam jangka
waktu tertentu. Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin, hindari pemberian obat yang kadaluarsa dan
tidak sesuai dengan jenis keluhan penyakit. Tersedia setiap saat dengan harga
yang terjangkau, jenis obat mudah didapatkan dengan harganya relatif murah dan
meminimalkan efek samping dan alergi obat.
Saat ini juga sudah dikeluarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 8 tahun 2016 tentang program
pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit, digunakan sebagai acuan bagi
rumah sakit dalam upaya pengendalian resistensi antimikroba agar Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit berlangsung secara baku,
terukur, dan terpadu. Dengan adanya upaya ini, semoga angka resistensi
antibiotika atau mikroba bisa segera dihilangkan.
Tidak ada komentar:
Write komentar