Walaupun
saat ini kita sedang berada dalam wabah virus corona yang melanda Indonesia dan
dunia, akan tetapi permasalahan penyakit tuberkulosis (TBC) jangan kita
lupakan. Sampai saat sebelum Covid-19, TBC masih menjadi pembunuh di dunia
sehingga dikenal dengan istilah “Captain
of the Men of Death”. TBC menyebabkan kematian sebanyak 4000 orang per hari
dan sebanyak 1,5 juta orang per tahun di dunia. Setiap tanggal 24 Maret diperingati
sebagai World TB Day atau Hari Tuberkulosis
Sedunia (HTBS). Peringatan tersebut bertujuan untuk mengingatkan masyarakat
bahwa TBC masih menjadi epidemi di dunia dan di Indonesia masih menjadi
penyebab kematian nomor satu. Indonesia menetapkan tema nasional peringatan
HTBS tahun 2020 adalah “Saatnya Anak Indonesia Bebas TBC, untuk Indonesia
Unggul”.
Berdasarkan data dari WHO, perkiraan
angka kematian TBC di Indonesia adalah 35 per 100.000 penduduk yang berarti
bahwa terdapat 93.000 orang meninggal karena TBC tahun 2018. Kasus TBC semakin
meningkat dibandingkan tahun 2017. Berdasarkan jumlah penemuan kasus TBC pada
Global Report tahun 2019, yaitu sejumlah 570.289 kasus.
Kasus TBC anak setiap tahunnya
diperikirakan sebanyak 1 juta dari keseluruhan kasus TBC sebanyak 10 juta jiwa
dimana 52% di antaranya terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Di
Indonesia, terdapat sekitar 8,2% kasus TBC anak yang ditemukan pada anak usia
di bawah 15 tahun atau sekitar 70.000 kasus per tahun.
Penyakit TBC disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Banyak faktor risiko terjadinya infeksi TBC pada
seorang anak yaitu berupa adanya kontak atau terpajan dengan orang tua/orang
dewasa lain yang menderita TBC, daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang
kumuh dengan hygiene dan sanitasi yang buruk. TBC merupakan penyakit
menular. Penularan penyakit ini yaitu
melalui droplet (percikan) dahak saat batuk, bersin. Dan penularannya tersebut
sama halnya dengan bagaimana terjadi penularan penyakit Covid-19 yang
disebabkan oleh vrus Corona yang baru ini.
Ukuran kuman mycobacterium tuberkulosis
sangat kecil sehingga mudah sekali terhirup dan masuk ke paru. Pada sebagian
kasus bila kita menghirup kuman tersebut maka kuman akan dihancurkan seluruhnya
oleh sistem imunitas tubuh kita. Akan tetapi pada sebagian kasus lain tidak
seluruhnya dihancurkan. Maka kuman tersebut akan terus berkembang biak dan
merusak sel yang diserangnya. Kemudian kuman akan dibawa melalui kelenjar limfe
sehingga menyebabkan pembengkakan (teraba pembesaran kelenjar di leher, sela
paha seperti benjolan kecil). Masa inkubasi (saat mulai masuk kuman sampai
timbul gejala klinis) yaitu berkisar 4-8 minggu.
Gejala
klinis TBC adalah batuk terus menerus, batuk berdahak kadang disertai darah, berat
badan menurun, sesak nafas, nyeri dada dan disertai keluar keringat di malam
hari. Pada anak dengan TBC juga dengan gejala hampir sama yaitu adanya keluhan
demam berulang lebih dari 2 minggu tanpa sebab yang jelas. Gejala lain berupa
nafsu makan berkurang, batuk lama lebih dari 3 minggu, berat badan anak tidak
bertambah malah cenderung turun walaupun dengan asupan gizi yang cukup dan anak
tampak lesu, kurang aktif bermain. Faktor yang terpenting kita mencurigai
seorang anak menderita TBC adalah adanya kontak erat dengan penderita TBC dewasa.
Mengapa
TBC harus menjadi perhatian dan harus dieliminasi? Berdasarkan informasi dari
Kementerian Kesehatan, bahwa ada 5 alasan, yaitu 1). TBC merupakan penyakit
menular dimana arus globalisasi transportasi dan migrasi penduduk antar Negara
membuat TBC menjadi ancaman serius. Pasien TBC aktif dapat menularkan kepada
10-15 orang di sekitarnya setiap tahun. 2). Pengobatan TBC tidak mudah dan
mahal sekali, 3). TBC yang tidak ditangani hingga tuntas bisa menyebabkan
terjadinya resistensi obat. 4). TBC menular dengan mudah yaitu yang berpotensi
menyebar di lingkungan keluarga, tempat kerja, sekolah dan tempat umum lainnya.
5). Anak yang terinfeksi dengan TBC laten, jika tidak diobati dengan benar maka
akan menjadi kasus TBC di masa dewasanya dan akan menjadi sumber penularan
baru.
Nah, bagaimana kasus TBC di saat pandemi Covid-19 ini? Berdasarkan pengalaman di China dimana penyakit ini bermula, bahwa sebelum Covid-19 mulai muncul, China merupakan negara dengan kasus TBC sangat banyak. Pada tahun 2018, diperkirakan 866.000 orang sakit TBC dan dilaporkan sebanyak 40.000 kematian di negara tersebut. Pada pertengahan Maret 2020, China telah melaporkan lebih dari 80.000 kasus Covid-19, dengan lebih dari 3000 kematian. Dan sangat dipastikan bahwa wabah Covid-19 tersebut menimbulkan efek yang besar terhadap layanan pasien TBC.
Mengapa? Kita tahu bahwa pada saat wabah infeksi corona virus ini menyerang, Negara China mengalami kekacauan di semua sistem pelayanan kesehatan. Masyarakat yang dilarang bepergian, sehingga penderita TBC tidak bisa meneruskan pengobatannya. Dana dan sumber daya semua difokuskan untuk penanganan wabah tersebut. Ruangan yang sebelumnya juga dipakai untuk isolasi penderita TBC, kemudian semuanya dipakai untuk penanganan pasien pasien Covid-19 ini. Bisa dikatakan bahwa perawatan pasien TBC terpinggirkan oleh penanganan pasien Covid-19.
Hal yang sama juga terjadi di Negara Korea Selatan. Pasien MDR TB yang seharusnya mendapat perawatan selama dua minggu di rumah sakit, bahkan tidak terlayanai. Mereka juga mengalihfungsikan bangsal TBC anak menjadi ruang isolasi untuk penderita Covid-19, ini sangat dikhawatirkan membuat penderita TB anak terlantar dalam pengobatannya. Bila negara maju seperti China dan Korea Selatan kewalahan dalam penanganan TBC, bagaimana dengan negara lain yang di dunia berkembang. Bagaimana juga dengan negara kita, Indonesia?
Kita sangat mengharapkan penderita TBC tetap mendapatkan haknya dalam pengobatan dan perawatan walaupun saat ini kita semua tahu bahwa Pemerintah sedang sangat fokus dalam penanganan Covid-19 ini. Semua pihak harus ‘ngeh’ terhadap segala layanan kesehatan terutama untuk pasien pasien dengan penyakit kronis yang membutuhkan obat rutin setiap bulannya. Pihak rumah sakit tetap memberi layanan kepada semua pasien dan tetap menyediakan berbagai obat yang dibutuhkan.
Kepada para pasien juga dihimbau untuk segera memeriksakan diri apabila ada ada keluhan yang berat atau mengalami perburukan dan tetap mengambil obat rutinnya sesuai jadwal. Para orang tua yang anaknya sedang mengkonsumsi OAT (Obat Anti Tuberkulosis), tetap membawa anaknya periksa bila ada keluhan dan rutin mengambil obat ke Puskesmas atau rumah sakit. Jangan sampai karena ketakutan akan penyebaran virus dari penyakit Covid -19 menyebabkan kita mengurung diri di rumah. Walaupun memang sangat dianjurkan untuk di rumah saja, akan tetapi ada pengecualian pada kondisi tertentu. Salah satunya adalah pada penderita TBC ini. Ayo, kita tetap waspada tapi jangan lupa tetap berobat rutin ya.
Tidak ada komentar:
Write komentar