ummihirzi@gmail.com

ummihirzi@gmail.com
Isi blog ini adalah makalah yang pernah saya buat dan presentasikan di IKA FK Unand, juga artikel kesehatan yang sudah dimuat di kolom Opini Media Lokal/Regional.

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 05 September 1977. Alumni FK Universitas Syiah Kuala Aceh. Dan telah memperoleh gelar Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Aktif sebagai pengurus IDAI Aceh, IDI Aceh Besar, Anggota Komunitas Rhesus Negatif Aceh dan sebagai Konselor Menyusui juga Ketua Aceh Peduli ASI (APA)...

Sabtu, 28 Mei 2022

Vaksinasi di Bulan Ramadhan, Bolehkah?


Saat ini kita sudah memasuki bulan Ramadhan. Ini kedua kalinya kita menjalani ibadah puasa di tengah pandemi Covid-19. Suka atau tidak, pandemi ini masih terus menjadi momok bagi dunia, termasuk juga di Indonesia dan Aceh tentunya. Penyakit Covid-19 ini sudah mengubah semua lini kehidupan kita, mengubah kebiasaan hidup, mengubah berbagai hal menjadi berbeda daripada sebelumnya.

            Pandemi Covid-19 ini mengingatkan kita terhadap kejadian wabah cacar small pox (Variola). Penyakit yang terjadi di Yunani pada 430 SM dan menyebabkan meninggalnya 30 ribu penduduk mereka, kemudian juga menjangkiti seluruh dunia. Angka kematian sangat tinggi, terdapat 3 dari setiap 10 orang penderita meninggal dunia. Penyakit tersebut juga sampai ke negara kita, Indonesia. Alhamdulillah kemudian ditemukannya vaksin cacar small pox oleh Edwar Jenner, dan diberikan vaksinasi massal di seluruh dunia maka penyakit tersebut bisa dihilangkan di muka bumi. Di Indonesia, pada tahun 1979, penyakit tersebut dinyatakan sudah zero kasus.

            Pemberian vaksinasi sudah terbukti mengurangi kejadian berbagai penyakit infeksi. Vaksinasi merupakan suatu proses yang membuat seseorang menjadi imun (kebal) terhadap penyakit infeksi melalui pemberian vaksin. Vaksin adalah suatu bahan yang berisikan antigen (baik itu virus atau bakteri) yang dapat merangsang daya tahan tubuh (imunitas) yang dihasilkan oleh sistem imun tubuh. Imunitas adalah kemampuan tubuh manusia untuk menerima keberadaan bahan bahan yang dimiliki dan dihasilkan oleh tubuh itu sendiri maupun menolak dan menghilangkan benda benda asing yang berasal dari luar tubuh. Imunitas terhadap virus atau bakteri ini ditandai dengan terbentuknya antibodi terhadap organisme kuman tersebut. Jadi prinsipnya adalah memberikan antigen lewat vaksin ke dalam tubuh sehingga tubuh merespon dalam bentuk antibodi. Sebenarnya prinsip dasar vaksinasi tersebut mengadopsi dari fenomena alamiah suatu penyakit. Bahwa seseorang yang sembuh dari suatu penyakit infeksi, maka akan terhindar dari penyakit tersebut pada infeksi selanjutnya.

            Di Indonesia, sejak tanggal 13 Januari sudah mulai dilakukan pemberian vaksin Covid-19, yang saat ini diberikan sebanyak 2 dosis dengan interval waktu 2 minggu antara vaksin pertama dan kedua, kecuali pada kelompok lanjut usia (lansia), diberikan dengan jarak 4 minggu.  Bulan April ini, vaksin sudah mulai diberikan untuk masyarakat umum, dimana sebelumnya saat awal pemberian diperuntukkan untuk tenaga kesehatan, pelayan publik, lanjut para guru, dosen , dan kelompok lansia.

            Nah, bagaimana halnya dengan pemberian vaksin Covid-19 ini pada bulan Ramadhan? Bolehkah kita menerima suntikan vaksin tersebut pada saat sedang menjalani ibadah puasa? Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 13 tahun 2021, bahwa pelaksanaan vaksin Covid-19 ini bisa dilakukan pada saat sedang berpuasa. Hukum melakukan vaksinasi Covid-19 bagi umat Islam yang sedang berpuasa dengan cara injeksi intramuskular adalah boleh, sepanjang tidak menyebabkan bahaya (dharar).

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga sudah menerbitkan edaran mengenai tuntunan Ibadah Ramadhan 1442 H/2021 M dalam kondisi darurat Covid-19. Pada salah satu poin dari edaran tersebut disebutkan bahwa vaksinasi dengan suntikan, boleh dilakukan pada saat berpuasa dan tidak membatalkan puasa.  Sebab, vaksin diberikan tidak melalui mulut atau rongga tubuh lainnya seperti hidung, serta tidak bersifat memuaskan keinginan dan bukan pula merupakan zat makanan yang mengenyangkan (menambah energi). Yang membatalkan puasa adalah aktivitas makan dan minum, yaitu menelan segala sesuatu melalui mulut hingga masuk ke perut, sekalipun rasanya tidak enak dan tidak lezat. Suntik vaksin tidak termasuk makan atau minum.

Dengan demikian tidak perlu lagi kita ragu untuk mendapatkan vaksin Covid-19, walau pun sedang berpuasa. Mari kita lakukan vaksinasi Covid-19 untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap virus tersebut, sehingga nantinya diharapkan bisa terbentuk Herd Immunity. Vaksinasi adalah salah satu ikhtiar dalam melindungi diri, keluarga dan orang lain di sekitar kita. Walau di tengah pandemi, mari jalankan ibadah puasa dengan baik dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Semoga ibadah puasa kita diterima olehNYA dan menjadi manusia yang bertaqwa. Sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia, 13 April 2021. Baca sini.

Selasa, 17 Mei 2022

Cakupan Imunisasi Dasar Semakin Menurun, Salah Siapa?


 Saat ini kasus penyakit menular semakin banyak bermunculan, terutama pada bayi dan anak. Kasus yang belakangan mulai banyak terjadi adalah campak. Di setiap kabupaten/kota di Aceh, para dokter spesialis anak menemukan banyak kasus campak disertai dengan komplikasi. Penemuan kasus yang banyak tersebut harusnya sudah bisa dikatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), dimana secara definisi KLB suspek campak adalah apabila ditemukan 5 atau lebih suspek campak dalam waktu 4 minggu berturut turut. Hampir sebagian besar kasus campak tersebut tanpa riwayat imunisasi sama sekali.

            Data dari WHO pada tahun 2020, sebanyak 17,1 juta anak di bawah satu tahun tidak menerima dosis awal vaksin DPT yang menunjukkan kurangnya akses ke imunisasi dan layanan kesehatan lainnya dan sebanyak 5,6 juta anak hanya divaksinasi sebagian. 60% di antaranya tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk Indonesia. Apalagi sejak muncul pandemi Covid-19, cakupan imunisasi rutin dalam rangka pencegahan penyakit seperti campak, rubella, semakin menurun. Misalnya, tingkat cakupan imunisasi difteri, pertusis dan tetanus (DPT3) dan campak dan rubella (MR1) berkurang lebih dari 35% pada bulan Mei 2020 dibandingkan periode waktu yang sama pada tahun sebelumnya. Secara umum di Indonesia, cakupan imunisasi rutin masih kurang optimal. Bagaimana dengan Aceh?

Berdasarkan data dari Buletin Imunisasi 2019-2021 yang dikeluarkan oleh Kemenkes, untuk wilayah Sumatera, Aceh berada di peringkat pertama dengan cakupan imunisasi sangat rendah. Untuk cakupan imunisasi dasar, pada tahun 2019 yaitu sebanyak 50,85%, tahun 2020 sebanyak 41,81% dan tahun 2021 yaitu hanya naik sedikit saja di angka 42,69%. Angka yang diperoleh Aceh sangat sedikit dibandingkan provinsi tetangga yaitu Sumatera Utara dimana cakupan imunisasi dasar mereka tahun 2019 yaitu 86,19%, pada tahun 2020 sebanyak 75,71% dan tahun 2021 80,70%. Sumatera Utara juga mengalami penurunan yang disebabkan karena kondisi pandemi, tapi angka cakupan imunisasinya jauh sekali di atas pencapaian Aceh.

            Untuk imunisasi MR (Measles Rubela/Campak Rubela) di Aceh, pada tahun 2019 cakupannya adalah 50,16%, pada tahun 2020 sebanyak 43,28% dan tahun 2021 yaitu 43,67%. Yang lebih miris lagi adalah angka cakupan imunisasi MR pada baduta (pemberian booster vaksin MR pada usia 18-24 bulan), pada tahun 2019 angka cakupan adalah 25,55% kemudian tahun 2020 sebanyak 13,43% sedangkan tahun 2021 yaitu 13,28%. Angka cakupan yang rendah juga terjadi pada cakupan imunisasi MR pada anak sekolah (kelas 1 SD), pada tahun 2019 sebanyak 28,32%, tahun 2020 yaitu 13,58% dan tahun 2021 sebanyak 15,41%. Apa yang terjadi dengan provinsi tercinta kita ini? Dimana letak kesalahannya? Salah siapakah ini?

Sejak bermunculan kelompok antivaksin yang menyebar informasi tentang bahaya imunisasi secara luas kepada masyarakat, menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran. Berbagai isu yang dilempar oleh pegiat antivaksin antara lain bahwa imunisasi merupakan konspirasi Yahudi. Mereka menyebarkan informasi bahwa imunisasi bertujuan melenyapkan umat. Teori ini berlandaskan asumsi curiga dan kecurigaanya sama sekali tidak rasional. Isu lain yang dilempar adalah bahwa ASI bisa menggantikan imunisasi. Memang sejak lahir bayi sudah membawa perlindungan terhadap beberapa penyakit dari antibodi ibunya (IgG) yang disalurkan melalui plasenta. Bayi yang mendapat ASI juga mendapat tambahan antibodi (IgA) dari ASI. Akan tetapi perlindungan yang didapat bayi tersebut baik dari antibodi ibu atau ASI tidak bisa digunakan untuk melawan semua penyakit dan sifat perlindungannya hanya sementara

Isu lain yang dilempar dan  sangat mempengaruhi masyarakat muslim di Indonesia umumnya dan di Aceh khususnya yaitu tentang haramnya vaksin. Kita perlu tahu bahwa banyak negara muslim yang melaksanakan imunisasi di negaranya. Sampai saat ini tidak pernah terdengar ada ulama di negara muslim yang melarang imunisasi kepada bayi dan anak di negaranya. Akhirnya banyak orang tua yang terpengaruh setelah membaca informasi dari buku dan berita yang disebar oleh pegiat antivaksin, dan memutuskan untuk tidak memberikan imunisasi kepada anaknya. Hal ini tentu saja menjadi salah satu penyebab angka cakupan imunisasi semakin berkurang.

Saat ditanyakan, para orang tua mengemukakan banyak alasan mengenai mengapa anak mereka tidak dibawa untuk mendapatkan vaksin. Beberapa alasan di antaranya adalah karena khawatir anaknya demam, khawatir anaknya rewel dan harus begadang saat malam harinya, merasa imunisasi tidak berguna, merasa bahwa imunisasi membuat anaknya sakit dan malah mengalami kelumpuhan, serta ada juga yang memberikan alasan karena tidak sempat atau orang tua sibuk bekerja atau ada yang terlupa. Alasan karena isu keharaman vaksin juga ada disampaikan oleh orang tua pasien. Bagaimana solusi atas hal ini?

Berdasarkan systematic review oleh Rainey dkk, bahwa sebanyak 838 alasan kenapa masyarakat belum terimunisasi telah teridentifikasi, dimana 460 alasan kenapa masyarakat belum melakukan imunisasi adalah karena rendahnya permintaan imunisasi dari masyarakat. Bagaimana negara kita, atau provinsi kita secara khusus bisa memperbaikinya?

Keberhasilan program imunisasi diukur dengan pencapaian target cakupan imunisasi dan ditentukan juga oleh perubahan perilaku kelompok sasaran untuk peningkatan imunisasi. Maka program HCD (Human Centered Design) bisa menjadi salah satu solusi saat ini yang bisa kita tempuh. HCD saat ini sedang menjadi program yang dijalankan oleh Kemenkes dan Unicef untuk melatih para tenaga kesehatan, dan juga dari NGO/LSM. HCD merupakan suatu pendekatan yang berfokus pada seseorang. Melalui HCD kita dapat mengamati apa yang dibutuhkan, diketahui dan dilakukan dalam keseharian masyarakat yang merupakan kelompok sasaran, termasuk mencari tahu tentang kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan imunisasi rutin. Untuk lebih memahami dan meningkatkan permintaan imunisasi, kita harus melihat bukan hanya dari sudut pandang orang tua atau keluarga saja namun juga masyarakat di sekitarnya, dan jangan hanya berfokus pada pengetahuan saja namun juga perilaku kelompok sasaran.

Nah bila ada pertanyaan siapa yang harus disalahkan atas rendahnya cakupan imunisasi di provinsi Aceh? Tentu jawabannya adalah bukan salah siapa siapa. Bukan saatnya lagi kita mencari kambing hitam atas masalah tersebut. Yang perlu kita lakukan adalah mari bersama bergenggaman tangan untuk melakukan beberapa terobosan supaya permintaan imunisasi dari masyarakat meningkat, sehingga cakupan imunisasi bisa ditingkatkan.

Pencapaian cakupan imunisasi bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, dinas kesehatan atau tenaga kesehatan saja. Akan tetapi hal tersebut menjadi tanggung jawab kita bersama, semua pihak termasuk para pemangku kebijakan lintas sektor, para pemerhati masalah kesehatan/sosial, para pekerja sosial atau anggota NGO/LSM bahkan menjadi tanggung jawab para orang tua juga. Bukankah kalau anak sehat tanpa menderita penyakit menular, maka orang tua juga akan senang? Anak bisa tumbuh kembang dengan baik dan terhindari dari berbagai penyakit menular yang bisa mengancam nyawanya. Tulisan ini sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia tanggal 18 Mei 2022.https://aceh.tribunnews.com/2022/05/18/cakupan-imunisasi-dasar-turun-salah-siapa

Rabu, 23 Maret 2022

Ayo Periksa TBC Sekarang


Setiap tanggal 24 Maret diperingati sebagai Hari Tuberkulosis Sedunia. Pada tahun ini mengusung tema “periksa TBC sekarang, untuk masa depan yang lebih baik”. Negara kita, Indonesia masih menjadi negara dengan kasus tuberkulosis sangat tinggi di dunia, nomor tiga terbanyak setelah negara India dan China. Estimasi jumlah kasus adalah 824 ribu, angka kasus TBC anak sebanyak 33.366, dan 8003 kasus TB HIV serta angka kematian mencapai 13.110 kasus. Di dunia, mengacu pada WHO Global TB Report tahun 2020, 10 juta orang di dunia menderita TB dan menyebabkan 1,2 juta orang meninggal setiap tahunnya. 

Data dari Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa terjadi penurunan pengobatan TBC dengan cakupan 67% di tahun 2019 dan 42% di tahun 2020. Diperkirakan kondisi pandemi Covid-19 yang menjadi salah satu penyebab menurunnya cakupan pengobatan TBC dimana berkaitan dengan susahnya akses masyarakat ke layanan kesehatan, ketakutan masyarakat untuk datang ke RS karena melonjaknya kasus Covid-19.

Dunia menargetkan untuk bebas TBC pada tahun 2050, sedangkan Indonesia berkomitmen untuk eliminasi TBC di tahun 2030 yaitu penurunan angka kejadian (incidence rate) TBC menjadi 65 per 100.000 penduduk dan penurunan angka kematian akibat TBC menjadi 6 per 100.000 penduduk.  Butuh usaha berbagai pihak atau lintas sektor untuk mewujudkan hal tersebut, bukan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja.

Penyakit TBC bukanlah penyakit keturunan apalagi penyakit kutukan, akan tetapi merupakan penyakit menular. Penyebabnya adalah kuman Mycobacterium tuberkulosis yang ditemukan oleh Robert Koch. Robert Koch berhasil mengidentifikasi kuman tersebut pada abad ke-19 yaitu pada tanggal 24 Maret 1882 yang kemudian diperingati sebagai Hari Tuberkulosis Sedunia. Ukuran kuman mycobacterium tuberculosis sangat kecil sehingga sangat mudah terhirup dan masuk ke dalam paru. Pada sebagian kasus, apabila kita menghirup kuman tersebut maka kuman akan dihancurkan seluruhnya oleh sistem imunitas tubuh kita. Akan tetapi pada sebagian kasus lain, tidak seluruhnya dihancurkan. Kuman yang tidak dihancurkan tersebut akan terus berkembang biak dan merusak sel yang diserangnya. Kuman tersebut akan dibawa melalui kelenjar limfe sehingga menyebabkan pembengkakan (teraba pembesaran kelenjar di leher, sela paha seperti benjolan kecil). Ada yang disebut infeksi laten TBC dimana kuman TBC ada di dalam tubuh kita, tetapi dikelilingi oleh sel sel pertahanan tubuh sehingga tidak menimbulkan penyakit. Sedangkan bila sistem pertahanan tubuh tidak mampu melawan kuman TBC, maka menimbulkan gejala dan disebut sebagai sakit TBC. Masa inkubasi (saat mulai masuk kuman sampai timbul gejala klinis) yaitu berkisar 4-8 minggu.

Gejala TBC pada pasien dewasa diantaranya: (1) batuk berdahak lebih dari 2 minggu, (2) mengalami sesak nafas, (3) berat badan menurun, dan (4) keringat di malam hari tanpa aktifitas. Pada anak, gejala klinis TBC yaitu adanya keluhan demam berulang lebih dari 2 minggu tanpa sebab yang jelas. Gejala lain berupa nafsu makan berkurang, batuk lama lebih dari 3 minggu, berat badan anak tidak bertambah malah cenderung turun walaupun dengan asupan gizi yang cukup dan anak tampak lesu, serta kurang aktif bermain. Faktor yang terpenting kita mencurigai seorang anak menderita TBC adalah adanya kontak erat dengan penderita TBC dewasa. Selain itu faktor risiko yang mempermudah terjadinya penyakit TBC pada anak yaitu usia balita dan remaja lebih tinggi berisiko sakit TBC, kondisi kekebalan tubuh yang menurun yaitu misal pada kondisi HIV, gizi buruk, dan sedang dalam terapi steroid jangka panjang.

Menegakkan diagnosis TBC yaitu berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan foto thorak, pemeriksaan sputum (dahak) , darah dan bila pada anak dilakukan terlebih dahulu uji Mantoux atau tes IGRA (Interferon Gamma Release Assays).

Obat untuk penderita TBC diberikan secara gratis baik di puskesmas maupun di rumah sakit, akan tetapi harus diminum secara teratur sesuai aturan dari dokter. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah dari kebal terhadap obat TBC. Bila pengobatan TBC tidak dilakukan dengan tepat maka kuman mycobacterium tuberkulosis akan menjadi kebal terhadap pengobatan, dikenal dengan istilah Tuberculosis Multi-drug Resistant (TB MDR) atau Tuberculosis Extensively-drug Resistant (TB XDR). Hal ini harus dicegah karena apabila kuman TBC telah kebal terhadap pengobatan TBC yang ada, maka harus diberikan obat anti TB jenis lain yang harganya lebih mahal dan pengobatannya memakan waktu yang lebih lama. Malah makin menyusahkan ternyata bila sudah terjadi TB MDR.

Bagaimana pencegahan penularan TBC? Mencegah penularan dapat dilakukan dengan mengedukasi penderita supaya bisa menutup mulut saat batuk dan bersin, tidak meludah atau membuang dahak di sembarangan tempat, menghindari kontak langsung dengan anak-anak, dan membiarkan sinar matahari masuk ke dalam ruangan serta tetap mengkonsumsi makanan yang bergizi dan tentu saja menghentikan merokok (bila selama ini si penderita merokok) serta menghindari paparan asap rokok dari orang di sekitarmya.

Penyakit TBC bisa dicegah juga dengan imunisasi BCG yang diberikan saat usia 1 bulan. Efek proteksi vaksin BCG ini mulai timbul dalam 8-12 minggu setelah imunisasi. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TBC paru, TBC Milier, TBC selaput otak (meningitis TB), TBC Tulang Belakang (Spondylitis TB). Walaupun imunisasi ini tidak mencegah 100% kejadian TBC, akan tetapi sangat efektif terutama untuk mencegah TBC yang berat.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) no.67 tahun 2021 tentang penanggulangan TBC, disebutkan bahwa stategi nasional eliminasi TBC yaitu berupa: (1). penguatan komiten dan kepemimpinan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, (2). peningkatan akses layanan TBC yang bermutu dan berpihak kepada pasien, (3). intensifikasi upaya kesehatan dalam rangka penanggulangan TBC, (4). peningkatan penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang penanggulangan TBC, (5). peningkatan peran serta komunitas dan pemangku kepentingan dan multisektor lainnya dalam penanggulangan TBC, serta (6). Penguatan manajemen program.

Mari kita dukung program pemerintah dalam mencegah dan menanggulangi penyakit TBC ini supaya kasusnya tidak bertambah dan kasus yang sudah ada semakin menurun dan juga bisa menurunkan angka kematian akibat penyakit tersebut. Bila mempunyai gejala seperti penderita TBC, sebaiknya segera memeriksakan diri termasuk bila tinggal serumah dengan anggota keluarga atau kontak erat dengan penderita TBC aktif, makan lakukan pemeriksaan.

Dengan pemeriksaan segera, bila diketahui memang menderita TBC maka akan diberikan pengobatan selama enam bulan lamanya. Semakin cepat ditemukan kasusnya dan semakin cepat mendapat pengobatan maka komplikasi dari penyakit tersebut bisa dihindari. Dengan demikian bisa menekan penularan yang lebih luas kepada orang di sekitarnya. Maka mari periksa TBC sekarang, untuk masa depan yang lebih baik tentunya. Sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia, 24 Maret 2022. Baca sini.

Kamis, 17 Februari 2022

Dilema Screen Time pada Anak


 Yang dimaksud dengan screen time adalah lamanya waktu yang digunakan untuk menonton berbagai media elektronik/digital yang berbasis layar baik itu televisi, komputer, perangkat seluler dan juga tablet (gadget).

Saat ini sangat sering terlihat para orang tua yang memberikan gadget kepada bayi dan anaknya supaya si bayi atau anaknya terhibur atau menjadi tenang. Mereka merasa bahwa dengan memberikan gadget, maka hal tersebut menjadi solusi sehingga anaknya yang sedang menangis atau mengamuk, menjadi diam dan tenang serta tidak lagi mengganggu pekerjaan mereka. Demikian juga halnya dengan televisi, para orang tua akan menyuguhi tayangan lagu anak anak atau pun berbagai film kartun kesukaan anak anak. Hal tersebut bukan hanya dilakukan oleh orang tua saja, akan tetapi oleh anggota keluarga lain baik kakek, nenek atau bahkan oleh pengasuh.

Apakah hal demikian boleh dilakukan? Bagaimana sebenarnya aturan pemakaian screen time pada anak? Pada tahun 2016, berdasarkan rekomendasi American Academic of  Paediatric (AAP), bahwa untuk anak usia kurang dari 18 bulan, aktivitas screen time tidak dianjurkan kecuali untuk video chatting (secara interaktif-responsif).Video call masih dibolehkan karena bisa sebagai media interaksi dimana ada keterlibatan bayi untuk bisa berinteraksi terutama untuk keluarga yang jauh.

Kemudian pada anak usia 18-24 bulan hanya memilih konten program yang berkualitas untuk anak dan supaya dimainkan bersama dengan orang tua sehingga dengan demikian anak bisa mengetahui cara yang terbaik untuk menggunakannya. AAP menyarankan supaya menghindarkan anak melakukan kegiatan screen time tanpa pendampingan orang tua. Untuk anak di atas 24 bulan, pemakaian screen time hanya 1 jam per hari maksimal dan tetap memilih konten yang berkualitas serta butuh pendampingan orang tua juga.

            Rekomendasi terbaru dari WHO pada tahun 2019 yang meliputi ketentuan tentang aktivitas fisik, perilaku screen time sedentarian (fisik anak relatif diam dan pasif) dan waktu tidur. Untuk usia kurang dari 1 tahun, nol menit screen time, sebanyak 30 menit aktivitas fisik dan waktu tidur 14 sampai 17 jam (untuk usia 0-1 bulan), 12 sampai 16 jam untuk usia 1-12 bulan. Pada anak usia 1 sampai 2 tahun maka untuk screen time adalah nol menit, di atas 2 tahun tidak boleh lebih dari satu jam, dengan aktivitas fisik selama 3 jam dan waktu tidur 11 sampai dengan 14 jam. Pada anak usia 3 sampai 4 tahun, screen time tidak dibolehkan lebih dari satu jam dengan aktivtas fisik 3 jam dan waktu tidur 10 sampai dengan 13 jam.

Nah bagaimana yang selama ini kita lakukan dalam keseharian? Sudah bijakkah kita para orang tua dalam memberikan gadget atau membebaskan anak anak menonton televisi? Nyatanya saat ini banyak sekali pengaruh negatif akibat dari screen time tersebut. Baik dari saat masa bayi , anak maupun anak remaja bahkan saat ini para orang tua sangat ketergantungan dengan benda yang bernama handphone (HP). Tentu banyak manfaat yang didapatkan dari HP, mulai dari kelancaran komunikasi (mendekatkan yang jauh), urusan keluarga, pekerjaan, dan lain lain. Akan tetapi bila salah dengan penggunaannya maka akibatnya juga fatal.

Karena banyaknya efek negatif, seorang ibu menyusui juga diberikan peringatan dalam menggunakan gadget. Ada istilah yang disebut dengan brexting yaitu kebiasaan menyusui sambil bermain gadget. Efek yang ditimbulkan adalah bisa mengganggu bonding (rasa kedekatan, kasih sayang ibu dan anak), ibu tidak mengenal sinyal lapar dan kenyang bayinya dan rasa tidak nyaman bayinya serta efek radiasi kepada bayi dan merusak mata.

Hormon anak bisa terganggu karena penggunaan gadget oleh ibunya terutama pada malam hari. Hormon melatonin yang dihasilkan oleh kelenjar pineal bisa turun akibat sinar biru dari HP sehingga anak menjadi sulit tidur. Bila sulit tidur, maka hormon lain juga menjadi terganggu dan mengganggu tumbuh kembang bayi/anak. Kebiasaan menyusui sambil bermain gadget akan membuat ibu menjadi tidak fokus saat menyusui.

Seorang ibu seharusnya fokus pada bayinya saat menyusui dan memberikan stimulasi kepada bayi baik dengan mengajaknya mengobrol, menyentuh bayinya atau mengajak senyum. Hal tersebut termasuk dalam stimulasi bicara, penglihatan dan pendengaran. Fokus kepada bayi saat menyusui akan membuat ibu dan bayi nyaman. Saat menyusui, bayi biasanya akan menatap ke arah mata ibunya. Saat itulah terjadi kontak mata antara ibu dan bayi sehingga  menjadi saat yang baik untuk berkomunikasi. Isapan bayi pada payudara ibu sangat penting untuk meningkatkan hormon prolaktin, salah satu hormon yang menghasilkan ASI. Keterikatan ibu dengan anak selama masa awal  kehidupan itu sangat penting, sehingga bila  keterikatan ini terinterupsi, maka anak kemungkinan akan mengalami masalah kecemasan di  masa mendatang.

Penggunaan screen time pada bayi juga mengganggu perkembangan terutama dalam perkembangan bahasa. Dari beberapa penelitian disebutkan bahwa salah satu penyebab keterlambatan bicara pada anak disebabkan oleh pemakaian gadget. Mengapa demikian? Pada saat anak terpapar screen time, anak hanya menonton saja tanpa tidak ada interaksi dua pihak.

Menjadi pemandangan yang biasa terlihat di setiap keluarga dimana anak sudah dibekali HP sejak dari kecil. Awalnya mungkin orang tua berpikir hal tersebut adalah bagian dari kasih sayangnya kepada anak, akan tetapi ternyata hal tersebut malah akan menjadi bumerang. Semakin banyak waktu yang dihabiskan anak menggunakan gadget terutama bila berselancar di dunia maya, maka makin besar peluang untuk terpapar materi yang tidak sesuai usia mereka. Hal tersebut tentu sangat tidak sehat, karena anak menghabiskan waktu sendirian memandangi layar komputer dan tanpa melakukan aktivitas fisik.

Sangat diharapkan kebijaksanaan para orang tua supaya tetap memperhatikan berbagai hal dalam penggunaan screen time yaitu antara lain tidak melakukan kegiatan screen time saat di kamar tidur, saat anak makan dan pada 1 jam sebelum tidur. Gadget tidak digunakan sebagai wadah untuk menenangkan perilaku anak dan supaya orang tua mempunyai berbagai alternatif aktivitas lain untuk belajar memecahkan masalah dan untuk menenangkan serta menghibur si anak. Kegiatan outdoor merupakan salah satu kegiatan yang sangat berguna dalam mengurangi paparan screen time pada anak. Antara lain bisa dengan bermain petak umpet, bermain sepeda, berenang, jalan jalan menikmati indahnya suasana alam dan lain sebagainya. Anak akan terbiasa beraktifitas dan tidak teringat untuk bermain games di gadgetnya.

Akan sangat susah nantinya kalau anak sudah mengalami ketergantungan dengan gadget. Mau tidur akan bermain gadget sebagai pengantar tidurnya, baru bangun tidur akan mencari HP untuk kesenangannya ditambah di keseharian akan mengurung diri di kamar hanya asyik dengan games di Hpnya. Biarlah tega hai para orang tua, biarlah mereka menangis karena tidak kita berikan HP dari pada kita nantinya yang menangis karena efek buruk dari HP yang terjadi pada anak kita. Bagaimana, sepakat? Sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia tanggal 18 Feb 2022. Baca Sini

Senin, 17 Januari 2022

Vaksin Covid-19, Kepentingan Siapa?

Setelah dilaunching selama satu tahun (tepatnya tanggal 13 Januari 2021), pelaksanaan vaksinasi Covid-19 terus berjalan sampai sekarang. Bahkan saat ini sejak Desember 2021 sudah dicanangkan pemberian vaksin tersebut untuk anak usia 6 sampai 11 tahun dan pada 12 Januari 2021 akan dimulai pemberian booster (dosis ketiga) vaksin Covid kepada seluruh masyarakat, yang pada awalnya kita ketahui bersama bahwa booster vaksin Covid hanya diberikan kepada tenaga kesehatan namun kemudian pemerintah memutuskan untuk memperluas pemberian dosis lanjutan tersebut.

            Tujuan pemberian dosis lanjutan vaksin Covid yaitu penting untuk meningkatkan antibodi secara penuh agar terhindar dari virus SARS-Cov. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kekebalan tubuh pada mereka yang diberikan booster ketiga vaksin Covid-19.

Sampai saat ini, cakupan vaksinasi Covid untuk nasional berdasarkan data dari Kementerian Keseharan RI per tanggal 11 Januari 2021, dengan jumlah sasaran 208.265.720, cakupan vaksinasi dosis pertama sebanyak 82,3%, cakupan dosis kedua adalah 56,34%. Sedangkan untuk Aceh berdasarkan data dari Dinas Kesehatan provinsi Aceh sampai tanggal 8 Januari 2021, dengan total sasaran yaitu 4.028.891, cakupan vaksinasi dosis pertama yaitu 71,4%, cakupan vaksinasi dosis kedua adalah 30,8%. Untuk vaksinasi dosis ketiga khusus tenaga kesehatan mencapai 70%.

Saat ini pemerintah pusat dan daerah terus gencar mengkampanyekan vaksin Covid-19. Dengan berbagai cara mengajak masyarakat untuk mau dengan sukarela mendatangi gerai gerai vaksin yang sudah buka di banyak tempat. Banyak promosi yang ditawarkan kepada masyarkat yang mau datang ke gerai vaksin, baik berupa pemberian hadiah sembako, alat elektronik (televisi, kulkas, dan lain lain), sepeda motor, bahkan ada yang memberikan hadiah umrah. Luar biasa usahanya.

Masyarakat juga bisa mendatangi setiap rumah sakit atau puskesmas. Mereka diharapkan tidak termakan isu hoaks atau sesat tentang vaksin. Sebaiknya mencari informasi yang valid dari sumber terpercaya. Kita sebagai masyarakat mari percayakan keputusan pemberian vaksin tersebut adalah yang terbaik bagi bangsa ini, dalam hal untuk memberantas dan menghentikan pandemi ini. Tidak perlu mencari cari alasan untuk menolaknya.

Bukankah mendapatkan vaksin Covid-19 ini juga buat kepentingan diri sendiri dan keluarga?  Atau apakah ada yang merasa ini merupakan kepentingan pemerintah pusat atau daerah tertentu supaya angka cakupan meningkat sehingga mendapat apresiasi dari negara luar atau provinsi sebelah? Tentu jangan pernah berpikir demikian.

Pemberian vaksinasi sudah terbukti puluhan tahun menghilangkan atau mengurangi kejadian berbagai penyakit infeksi. Vaksinasi merupakan suatu proses yang membuat seseorang menjadi imun (kebal) terhadap penyakit infeksi melalui pemberian vaksin. Vaksin adalah suatu bahan yang berisikan antigen (baik itu virus atau bakteri) yang dapat merangsang daya tahan tubuh (imunitas) yang dihasilkan oleh sistem imun tubuh. Imunitas adalah kemampuan tubuh manusia untuk menerima keberadaan bahan bahan yang dimiliki dan dihasilkan oleh tubuh itu sendiri maupun menolak dan menghilangkan benda benda asing yang berasal dari luar tubuh. Imunitas terhadap virus atau bakteri ini ditandai dengan terbentuknya antibodi terhadap organisme kuman tersebut. Jadi prinsip vaksinasi adalah memberikan antigen lewat vaksin ke dalam tubuh sehingga tubuh merespon dalam bentuk antibodi.

            Vaksinasi adalah suatu ikhtiar dalam melindungi diri, keluarga dan orang di sekitar kita terutama juga untuk melindungi orang orang dengan komorbid yang tidak bisa atau memiliki penyakit yang merupakan kontraindikasi untuk vaksin tersebut. Dengan mendapatkan vaksin Covid-19, sangat diharapkan terbentuk antibodi tubuh kita untuk melawan virus yang masuk. Vaksin memang tidak bisa melindungi 100 persen akan tetapi sudah terbukti dari data ilmiah bahwa seseorang yang sudah mendapat vaksin Covid-19, bisa terhindar dari infeksi virus tersebut ataupun bila tetap mengalami terkonfirmasi positif namun tidak menunjukkan gejala berat, hanya gejala ringan atau malah tanpa gejala sama sekali.

Seseorang yang belum divaksinasi, maka sistem kekebalan tubuhnya tidak siap dalam melawan virus penyebab Covid-19. Oleh karena tubuh belum siap menghadapi serangan virus tersebut, maka gejala yang ditimbulkan bisa beragam bahkan berisiko kematian. Berdasarkan survei pada lebih 70 ribu tenaga kesehatan di DKI Jakarta yang positif Covid, sebanyak 90% bergejala berat belum divaksinasi dan 75% dari pasien meninggal dunia belum mendapatkan vaksin Covid-19.

            Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi warganya melalui peningkatan cakupan vaksinasi Covid-19 yaitu dengan menjadikan sertifikat vaksin sebagai persyaratan untuk beberapa keperluan administrasi. Di antaranya saat masuk ke gedung perkantoran, naik pesawat, kereta api, kapal laut, masuk ke pusat perbelanjaan, syarat mendaftar sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS), bahkan juga dijadikan sebagai syarat bagi mahasiswa untuk bisa mengakses Kartu Rencana Studi (KRS) online.

Awalnya banyak masyarakat yang melayangkan protes kepada pemerintah atas kebijakan yang diambil tersebut namun ternyata kemudian bisa kita rasakan manfaatnya. Kasus Covid-19 semakin menurun seiring dengan meningkatnya angka cakupan vaksinasi. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir di Aceh kasusnya bisa dikatakan sudah sangat sedikit dan tidak ada pasien rawatan di semua ruang rawat Pinere di seluruh rumah sakit di Aceh. Tentu hal demikian sangat kita apresiasi, dimana dengan adanya kebijakan yang walau dipandang memaksa akan tetapi bernilai positif dan bermanfaat buat kemaslahatan bersama.

Kalau kemudian timbul pertanyaan vaksinasi Covid-19 ini untuk kepentingan siapa?. Harusnya dengan bangga kita bisa menjawab bahwa vaksin Covid-19 ini untuk kepentingan kita semua dalam membentuk herd immunity. Bahwa vaksin covid ini adalah untuk kepentingan diri pribadi, kepentingan buah hati dan orang lain di lingkungan kita yang sangat kita cintai dan sayangi. Jadi bukan untuk kepentingan presiden, gubernur, bupati/walikota, camat, kepala desa atau pejabat di level mana pun, tapi untuk kepentingan kita bersama.

Mari kita dukung bersama berbagai upaya pemerintah dalam menaikkan cakupan vaksinasi Covid-19 di provinsi dan negara tercinta ini dan kita sangat mengharapkan semoga upaya keras tersebut tidak dikotori oleh perilaku para oknum tidak bertanggung jawab yang hanya ingin mendapatkan sertifikat vaksin tanpa melalui prosedur penyuntikan. Sangat disayangkan apabila hal demikian benar terjadi. Siapa pun yang melakukan atau membiarkan hal tersebut terjadi tentu bisa dinilai sebagai pihak yang zalim. Iya, menzhalimi masyarakat lain karena hal yang diinginkan berupa terbentuknya herd immunity (kekebalan kelompok) di lingkungan kita akan sangat susah diwujudkan. Wallahualam bisshawab. Sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia, 18 Januari 2022. Baca sini

Tertarik dengan kegiatan dan layanan informasi yang kami berikan?
Anda dapat memperoleh informasi terbaru melalui email.