ummihirzi@gmail.com

ummihirzi@gmail.com
Isi blog ini adalah makalah yang pernah saya buat dan presentasikan di IKA FK Unand, juga artikel kesehatan yang sudah dimuat di kolom Opini Media Lokal/Regional.

Mengenai Saya

Foto saya
Lahir di Bireuen, Aceh, tanggal 05 September 1977. Alumni FK Universitas Syiah Kuala Aceh. Dan telah memperoleh gelar Spesialis Anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Aktif sebagai pengurus IDAI Aceh, IDI Aceh Besar, Anggota Komunitas Rhesus Negatif Aceh dan sebagai Konselor Menyusui juga Ketua Aceh Peduli ASI (APA)...

Sabtu, 28 Mei 2022

Vaksinasi di Bulan Ramadhan, Bolehkah?


Saat ini kita sudah memasuki bulan Ramadhan. Ini kedua kalinya kita menjalani ibadah puasa di tengah pandemi Covid-19. Suka atau tidak, pandemi ini masih terus menjadi momok bagi dunia, termasuk juga di Indonesia dan Aceh tentunya. Penyakit Covid-19 ini sudah mengubah semua lini kehidupan kita, mengubah kebiasaan hidup, mengubah berbagai hal menjadi berbeda daripada sebelumnya.

            Pandemi Covid-19 ini mengingatkan kita terhadap kejadian wabah cacar small pox (Variola). Penyakit yang terjadi di Yunani pada 430 SM dan menyebabkan meninggalnya 30 ribu penduduk mereka, kemudian juga menjangkiti seluruh dunia. Angka kematian sangat tinggi, terdapat 3 dari setiap 10 orang penderita meninggal dunia. Penyakit tersebut juga sampai ke negara kita, Indonesia. Alhamdulillah kemudian ditemukannya vaksin cacar small pox oleh Edwar Jenner, dan diberikan vaksinasi massal di seluruh dunia maka penyakit tersebut bisa dihilangkan di muka bumi. Di Indonesia, pada tahun 1979, penyakit tersebut dinyatakan sudah zero kasus.

            Pemberian vaksinasi sudah terbukti mengurangi kejadian berbagai penyakit infeksi. Vaksinasi merupakan suatu proses yang membuat seseorang menjadi imun (kebal) terhadap penyakit infeksi melalui pemberian vaksin. Vaksin adalah suatu bahan yang berisikan antigen (baik itu virus atau bakteri) yang dapat merangsang daya tahan tubuh (imunitas) yang dihasilkan oleh sistem imun tubuh. Imunitas adalah kemampuan tubuh manusia untuk menerima keberadaan bahan bahan yang dimiliki dan dihasilkan oleh tubuh itu sendiri maupun menolak dan menghilangkan benda benda asing yang berasal dari luar tubuh. Imunitas terhadap virus atau bakteri ini ditandai dengan terbentuknya antibodi terhadap organisme kuman tersebut. Jadi prinsipnya adalah memberikan antigen lewat vaksin ke dalam tubuh sehingga tubuh merespon dalam bentuk antibodi. Sebenarnya prinsip dasar vaksinasi tersebut mengadopsi dari fenomena alamiah suatu penyakit. Bahwa seseorang yang sembuh dari suatu penyakit infeksi, maka akan terhindar dari penyakit tersebut pada infeksi selanjutnya.

            Di Indonesia, sejak tanggal 13 Januari sudah mulai dilakukan pemberian vaksin Covid-19, yang saat ini diberikan sebanyak 2 dosis dengan interval waktu 2 minggu antara vaksin pertama dan kedua, kecuali pada kelompok lanjut usia (lansia), diberikan dengan jarak 4 minggu.  Bulan April ini, vaksin sudah mulai diberikan untuk masyarakat umum, dimana sebelumnya saat awal pemberian diperuntukkan untuk tenaga kesehatan, pelayan publik, lanjut para guru, dosen , dan kelompok lansia.

            Nah, bagaimana halnya dengan pemberian vaksin Covid-19 ini pada bulan Ramadhan? Bolehkah kita menerima suntikan vaksin tersebut pada saat sedang menjalani ibadah puasa? Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 13 tahun 2021, bahwa pelaksanaan vaksin Covid-19 ini bisa dilakukan pada saat sedang berpuasa. Hukum melakukan vaksinasi Covid-19 bagi umat Islam yang sedang berpuasa dengan cara injeksi intramuskular adalah boleh, sepanjang tidak menyebabkan bahaya (dharar).

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga sudah menerbitkan edaran mengenai tuntunan Ibadah Ramadhan 1442 H/2021 M dalam kondisi darurat Covid-19. Pada salah satu poin dari edaran tersebut disebutkan bahwa vaksinasi dengan suntikan, boleh dilakukan pada saat berpuasa dan tidak membatalkan puasa.  Sebab, vaksin diberikan tidak melalui mulut atau rongga tubuh lainnya seperti hidung, serta tidak bersifat memuaskan keinginan dan bukan pula merupakan zat makanan yang mengenyangkan (menambah energi). Yang membatalkan puasa adalah aktivitas makan dan minum, yaitu menelan segala sesuatu melalui mulut hingga masuk ke perut, sekalipun rasanya tidak enak dan tidak lezat. Suntik vaksin tidak termasuk makan atau minum.

Dengan demikian tidak perlu lagi kita ragu untuk mendapatkan vaksin Covid-19, walau pun sedang berpuasa. Mari kita lakukan vaksinasi Covid-19 untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap virus tersebut, sehingga nantinya diharapkan bisa terbentuk Herd Immunity. Vaksinasi adalah salah satu ikhtiar dalam melindungi diri, keluarga dan orang lain di sekitar kita. Walau di tengah pandemi, mari jalankan ibadah puasa dengan baik dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Semoga ibadah puasa kita diterima olehNYA dan menjadi manusia yang bertaqwa. Sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia, 13 April 2021. Baca sini.

Selasa, 17 Mei 2022

Cakupan Imunisasi Dasar Semakin Menurun, Salah Siapa?


 Saat ini kasus penyakit menular semakin banyak bermunculan, terutama pada bayi dan anak. Kasus yang belakangan mulai banyak terjadi adalah campak. Di setiap kabupaten/kota di Aceh, para dokter spesialis anak menemukan banyak kasus campak disertai dengan komplikasi. Penemuan kasus yang banyak tersebut harusnya sudah bisa dikatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), dimana secara definisi KLB suspek campak adalah apabila ditemukan 5 atau lebih suspek campak dalam waktu 4 minggu berturut turut. Hampir sebagian besar kasus campak tersebut tanpa riwayat imunisasi sama sekali.

            Data dari WHO pada tahun 2020, sebanyak 17,1 juta anak di bawah satu tahun tidak menerima dosis awal vaksin DPT yang menunjukkan kurangnya akses ke imunisasi dan layanan kesehatan lainnya dan sebanyak 5,6 juta anak hanya divaksinasi sebagian. 60% di antaranya tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk Indonesia. Apalagi sejak muncul pandemi Covid-19, cakupan imunisasi rutin dalam rangka pencegahan penyakit seperti campak, rubella, semakin menurun. Misalnya, tingkat cakupan imunisasi difteri, pertusis dan tetanus (DPT3) dan campak dan rubella (MR1) berkurang lebih dari 35% pada bulan Mei 2020 dibandingkan periode waktu yang sama pada tahun sebelumnya. Secara umum di Indonesia, cakupan imunisasi rutin masih kurang optimal. Bagaimana dengan Aceh?

Berdasarkan data dari Buletin Imunisasi 2019-2021 yang dikeluarkan oleh Kemenkes, untuk wilayah Sumatera, Aceh berada di peringkat pertama dengan cakupan imunisasi sangat rendah. Untuk cakupan imunisasi dasar, pada tahun 2019 yaitu sebanyak 50,85%, tahun 2020 sebanyak 41,81% dan tahun 2021 yaitu hanya naik sedikit saja di angka 42,69%. Angka yang diperoleh Aceh sangat sedikit dibandingkan provinsi tetangga yaitu Sumatera Utara dimana cakupan imunisasi dasar mereka tahun 2019 yaitu 86,19%, pada tahun 2020 sebanyak 75,71% dan tahun 2021 80,70%. Sumatera Utara juga mengalami penurunan yang disebabkan karena kondisi pandemi, tapi angka cakupan imunisasinya jauh sekali di atas pencapaian Aceh.

            Untuk imunisasi MR (Measles Rubela/Campak Rubela) di Aceh, pada tahun 2019 cakupannya adalah 50,16%, pada tahun 2020 sebanyak 43,28% dan tahun 2021 yaitu 43,67%. Yang lebih miris lagi adalah angka cakupan imunisasi MR pada baduta (pemberian booster vaksin MR pada usia 18-24 bulan), pada tahun 2019 angka cakupan adalah 25,55% kemudian tahun 2020 sebanyak 13,43% sedangkan tahun 2021 yaitu 13,28%. Angka cakupan yang rendah juga terjadi pada cakupan imunisasi MR pada anak sekolah (kelas 1 SD), pada tahun 2019 sebanyak 28,32%, tahun 2020 yaitu 13,58% dan tahun 2021 sebanyak 15,41%. Apa yang terjadi dengan provinsi tercinta kita ini? Dimana letak kesalahannya? Salah siapakah ini?

Sejak bermunculan kelompok antivaksin yang menyebar informasi tentang bahaya imunisasi secara luas kepada masyarakat, menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran. Berbagai isu yang dilempar oleh pegiat antivaksin antara lain bahwa imunisasi merupakan konspirasi Yahudi. Mereka menyebarkan informasi bahwa imunisasi bertujuan melenyapkan umat. Teori ini berlandaskan asumsi curiga dan kecurigaanya sama sekali tidak rasional. Isu lain yang dilempar adalah bahwa ASI bisa menggantikan imunisasi. Memang sejak lahir bayi sudah membawa perlindungan terhadap beberapa penyakit dari antibodi ibunya (IgG) yang disalurkan melalui plasenta. Bayi yang mendapat ASI juga mendapat tambahan antibodi (IgA) dari ASI. Akan tetapi perlindungan yang didapat bayi tersebut baik dari antibodi ibu atau ASI tidak bisa digunakan untuk melawan semua penyakit dan sifat perlindungannya hanya sementara

Isu lain yang dilempar dan  sangat mempengaruhi masyarakat muslim di Indonesia umumnya dan di Aceh khususnya yaitu tentang haramnya vaksin. Kita perlu tahu bahwa banyak negara muslim yang melaksanakan imunisasi di negaranya. Sampai saat ini tidak pernah terdengar ada ulama di negara muslim yang melarang imunisasi kepada bayi dan anak di negaranya. Akhirnya banyak orang tua yang terpengaruh setelah membaca informasi dari buku dan berita yang disebar oleh pegiat antivaksin, dan memutuskan untuk tidak memberikan imunisasi kepada anaknya. Hal ini tentu saja menjadi salah satu penyebab angka cakupan imunisasi semakin berkurang.

Saat ditanyakan, para orang tua mengemukakan banyak alasan mengenai mengapa anak mereka tidak dibawa untuk mendapatkan vaksin. Beberapa alasan di antaranya adalah karena khawatir anaknya demam, khawatir anaknya rewel dan harus begadang saat malam harinya, merasa imunisasi tidak berguna, merasa bahwa imunisasi membuat anaknya sakit dan malah mengalami kelumpuhan, serta ada juga yang memberikan alasan karena tidak sempat atau orang tua sibuk bekerja atau ada yang terlupa. Alasan karena isu keharaman vaksin juga ada disampaikan oleh orang tua pasien. Bagaimana solusi atas hal ini?

Berdasarkan systematic review oleh Rainey dkk, bahwa sebanyak 838 alasan kenapa masyarakat belum terimunisasi telah teridentifikasi, dimana 460 alasan kenapa masyarakat belum melakukan imunisasi adalah karena rendahnya permintaan imunisasi dari masyarakat. Bagaimana negara kita, atau provinsi kita secara khusus bisa memperbaikinya?

Keberhasilan program imunisasi diukur dengan pencapaian target cakupan imunisasi dan ditentukan juga oleh perubahan perilaku kelompok sasaran untuk peningkatan imunisasi. Maka program HCD (Human Centered Design) bisa menjadi salah satu solusi saat ini yang bisa kita tempuh. HCD saat ini sedang menjadi program yang dijalankan oleh Kemenkes dan Unicef untuk melatih para tenaga kesehatan, dan juga dari NGO/LSM. HCD merupakan suatu pendekatan yang berfokus pada seseorang. Melalui HCD kita dapat mengamati apa yang dibutuhkan, diketahui dan dilakukan dalam keseharian masyarakat yang merupakan kelompok sasaran, termasuk mencari tahu tentang kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan imunisasi rutin. Untuk lebih memahami dan meningkatkan permintaan imunisasi, kita harus melihat bukan hanya dari sudut pandang orang tua atau keluarga saja namun juga masyarakat di sekitarnya, dan jangan hanya berfokus pada pengetahuan saja namun juga perilaku kelompok sasaran.

Nah bila ada pertanyaan siapa yang harus disalahkan atas rendahnya cakupan imunisasi di provinsi Aceh? Tentu jawabannya adalah bukan salah siapa siapa. Bukan saatnya lagi kita mencari kambing hitam atas masalah tersebut. Yang perlu kita lakukan adalah mari bersama bergenggaman tangan untuk melakukan beberapa terobosan supaya permintaan imunisasi dari masyarakat meningkat, sehingga cakupan imunisasi bisa ditingkatkan.

Pencapaian cakupan imunisasi bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, dinas kesehatan atau tenaga kesehatan saja. Akan tetapi hal tersebut menjadi tanggung jawab kita bersama, semua pihak termasuk para pemangku kebijakan lintas sektor, para pemerhati masalah kesehatan/sosial, para pekerja sosial atau anggota NGO/LSM bahkan menjadi tanggung jawab para orang tua juga. Bukankah kalau anak sehat tanpa menderita penyakit menular, maka orang tua juga akan senang? Anak bisa tumbuh kembang dengan baik dan terhindari dari berbagai penyakit menular yang bisa mengancam nyawanya. Tulisan ini sudah dimuat di Harian Serambi Indonesia tanggal 18 Mei 2022.https://aceh.tribunnews.com/2022/05/18/cakupan-imunisasi-dasar-turun-salah-siapa

Tertarik dengan kegiatan dan layanan informasi yang kami berikan?
Anda dapat memperoleh informasi terbaru melalui email.